Keberhasilan pembangunan dan keberhasilan dalam menjalani proses historis kehidupan dalam semua tingkatan akan sangat tergantung pada peran serta laki-laki dan perempuan secara bersamaan sebagai pelaku dan pemanfaatnya. Ketidakseimbangan serta peminggiran terhadap peran serta dari salah satu elemen tersebut bisa berakibat pada ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, semua program pemberdayaan harus memperhatikan dan diorientasikan pada pencapaian dan optimalisasi peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Kenyataan dilapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun sudah diupayakan dengan berbagai strategi dan pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai karena pendekatan pembangunan yang dikembangkan belum mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidak adilan gender yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender. Indikator yang dipakai untuk melihat dan mengukur kesenjangan tersebut digunakan Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Fakta ketidakadilan gender dalam masyarakat Indonesia diperkuat dengan adanya Human Development report tahun 2002 yang menunjukkan GDI Indonesia masih menempati urutan 91 dari 173 negara dan HDI Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 173 negara.Oleh karena itulah berbagai strategi yang dapat meningkatkan pemberdayaan perempuan terus dikembangkan seperti strategi terakhir yaitu strategi pengarusutamaan gender ( Gender Mainstreaming).
Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program, proses dan proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan tindakan yang memprioritaskan kesamaan gender berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2000 yaitu Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing .[1] Pelaksanaan dan implementasi PUG juga didukung oleh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 mengenai segala bentuk diskriminasi
Strategi pemberdayaan ini dirancang sebagai strategi alternatif untuk melengkapi dua strategi terdahulu, Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD), dan dideklarasikan semenjak tahun 1995 pada Forth World Conference on Women di Beijing.[2] WID sebagai strategi pertama popular pada 1975-1985 ketika tahun-tahun itu dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”.[3] Sejak saat itu, hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan Wanita, dengan fokus utama meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Strategi peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu analisis yang lebih memfokuskan pada kaum perempuannya. Strategi ini dibangun di atas asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan. Analisis ini mengharuskan adanya usaha untuk menghilangkan diskriminasi yang menghalangi usaha mendidik kaum perempuan.
Akan tetapi, strategi WID banyak mendapat kritik terutama dari kelompok feminis dengan menekankan tiga asumsi dasarl, yaitu:
1. strategi ini diasumsikan sebagai agenda dari dunia pertama terhadap dunia ketiga
2. diasumsikan strategi ini memiliki bias kepentingan dari kelompok feminisme liberal yang diwakili oleh perempuan kulit putih yang dipandang tidak memiliki kepentingan dengan pembebasan para perempuan didunia ketiga
3. diasumsikan bahwa strategi ini lebih mengarah pada pengekangan terhadap para perempuan dan bukan merupakan upaya pembebasan.
Kritik lain yang dilancarkan untuk strattegi pemberdayaan ini adalah strategi ini lebih menekankan atau focus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan dan relasi social antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan.[4]
Strategi kedua muncul dengan lebih memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi, dan budaya hidup masyarakat yang melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dikenal dengan ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak persoalannya bukanlah pada kaum perempuan sebagaimana diasumsikan semula, akan tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Strategi kedua ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur gender inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi WAD (Women and Development) setelah tidak berhasilnya strategi WID. Berbeda dengan WID yang melahirkan proyek-proyek peningkatan peran perempuan seperti proyek peningkatan penghasilan perempuan dan didirikannya kementerian peranan wanita, maka puncak keberhasilan strategi kedua ini menghasilkan kebijakan global yang monumental bagi perjuangan kaum perempuan ini, yakni dengan diterimanya secara global konvensi anti segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elemination of all Form of Discrimination Againts Women) tersebut.
Selanjutnya dalam konferensi Nairobi tahun 1985 dibicarakan kemungkinan memasukkan perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan pembangunan serta diperkuat konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya platform action strategi gender mainstreaming. Dalam konferensi tersebut dibicarakan upaya mengurangi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD yang tujuan dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam pembangunan. Sasaran utama kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi (masyarakat), institusi (organisasi dan masyarakat).
Untuk melihat apakah strategi gender mainstreaming sudah diterapkan atau tidak, gender scan adalah salah satu instrumen yang dapat dipakai sebagai langkah strategis.Akses dan kontrol terhadap SDM dalam organisasi, sensitifitas gender dalam pengembangan perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategis gender (gender need), kesamaan gender di organisasi dan pembagian kerja berdasarkan gender merupakan perangkat yang terdapat dalam gender scan. Selain itu,untuk menyusun program dan membuat kebijakan yang responsif gender harus berdasarkan data dan informasi yang akurat yang diperoleh dari proses pengolahan dan analisa tepat. Proses analisa data tersebut dikenal dengan istilah analisis gender. Ada lima jemis model analisis gender yang dikenal di Indonesia, yaitu:
- Model Harvard
Suatu kerangka analisis gender yang paling awal dikembangkan dimana pendekatannya berdasarkan efisiensi WID untuk melihat profil gender secara mikro dan peran gender dalam proyek pembangunan serta dalam perencanaan berbagai program kegiatan. Kerangka analisis ini dikenal dengan kerangka analisis Harvard. Dikembangkan pada mulanya oleh Harvard Institute For International Development yang bekerjasama dengan kantor Women In Development (WID) USAID. Perspektif yang digunakan model Harvard ini lebih tepat digunakan untuk perencanaan proyek yang lebih bersifat ekonomis dan lebih tepat untuk perencanaan proyek daripada kebijakan karena model ini bisa menunjukkan bagian-bagian proyek yang perlu disesuaikan dengan tujuan proyek. Analisis model Harvard ini meninjau dari 4 (empat) komponen dasar antara lain:
- Profil kegiatan, yang dianalisa dan diidentifikasi dalam profil ini beberapa parameter seperti umur (misalnya, siapa mengerjakan apa sehingga pola relasi gender dan dampak yang ditimbulkan dapat teridentifikasi melalui pemetaan pekerjaan berdasarkan umur dan jenis kelamin), alokasi waktu (menunjukkan apakah kegiatan dilakukan pada waktu tertentu seperti harian atau waktu-waktu tertentu saja), lokasi kegiatan (menunjukkan dimana kegiatan dilakukan) dan pendapatan (menunjukkan uang atau pendapatan yang dihasilkan dari suatu kegiatan)
- Profil akses dan kontrol, dalam profil ini yang dianalisa adalah sumber-sumber yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melakukan suatu kegiatan serta manfaat yang didapat oleh masing-masing dari hasil kegiatan.
- Analisis faktor, dalam profil ini yang dilihat adalah faktor-faktor dasar yang memepengaruhi dua poin diatas termasuk faktor yang menentukan pembagian kerja berdasarkan gender.
- Analisis siklus proyek, penelaahan proyek berdasarkan data yang diperoleh dari analisis terdahulu dengan melihat kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana yang bisa dipengaruhi oleh proyek yang akan dilaksanakan.
- Model Moser
Model analisa ini lebih mengasumsikan bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan politis sehingga dalam proses perencanaan dan dan transformasi terdapat konflik. Ada 6 (enam) alat yang digunakan dalam perencanaan semua tingkatan dar perencanaan proyek dari level pusat sampai level daerah, antara lain:
- Identifikasi peranan gender /Tri Peran (alat 1) yang mencakup penyusunan pembagian kerja gender dalam rumah tangga selama 24 jam.
- Penilaian kebutuhan gender (alat 2). Alat kedua ini memetakan kebutuhan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang berbeda berdasarkan minat yang bersifat praktis dan strategis.
- Pemisahan kontrol atas sumberdaya dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga (alat 3). Alat ini menganalisa dan menunjukkan siapa yang mengontrol sumberdaya dalam rumah tangga termasuk siapa yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam penggunaan sumberdaya keluarga dan bagaimana proses keputusan tersebut dibuat.
- Penyeimbangan peran (alat 4). Alat ini menganalisa peran perempuan dalam mengelola keseimbangan antara tugas-tugas produktif, reproduktif dan publik (sosial kemasyarakatan).
- Matriks kebijakan WID (Women in Development) dan GAD (Gender and Development). Kedua matriks tersebut memberikan kerangka untuk mengidentifikasi atau mengevaluasi pendekatan yang digunakan yang ditujukan pada tri peranan seperti disebeutkan diatas termasuk kebutuhan gender yang bersifat praktis dan strategis dalam proyek. Matriks ini dibedakan lagi kedalam lima pendekatan, yaitu: pertama, kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan ini bertujuan untuk mengakui peran reproduktif perempuan dengan pemenuhan kebutuhan praktis gender perempuan selain membawa perempuan kedalam pembanguanan sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki kemampuan yang lebih baik. Kedua, Matriks keadilan. Pendekatan matriks ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi perempuan dengan menempatkan mereka sebagai partisipan aktif dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan strategis gender serta pengakuan tri peranan perempuan. Dalam hal ini pemerintah melakukan intervensi langsung dengan pemberian otonomi politik dan ekonomi serta pengurangan ketidaksetaraan perempuan dengan laki-laki. Dengan kata lain, pendekatan ini menolak adanya subordinasi perempuan. Ketiga, anti kemiskinan. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas perempuan miskin. Akan tetapi pendekatan ini tidak melihat kemiskinan perempuan sebagai dampak dari subordinasi akan tetapi hanya sebagai masalah keterbelakangan. Keempat, efisiensi. Pendekatan ini merupakan pendekatan utama dalam analisa model Moser. Dalam pendekatan ini yang menjadi titik tekan adalah kontribusi ekonomi perempuan dalam kerangka pembangunan yang efisien dan efektif karena partisipasi disini dianggap sama dengan keadilan. Pendekatan ini berusaha memnuhi kebutuhan praktis gender dengan mengandalkan tri peranan dan konsep waktu yang dimiliki perempuan yang elastis dan fleksibel. Kelima, pemberdayaan. Pendekatan ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan melalui kepercayaan diri perempuan yang lebih besar. Pendekatan ini melihat bahwa subordinasi perempuan dinilai tidak hanya karena dominasi laki-laki tetapi juga karena penindasan kolonial dan neo-kolonial. Pendekatan ini juga mengakui tri peranan perempuan dan ada upaya pemebuhan kebutuhan praktis gender akan tetapi secara tidak langsung melalui mobilisasi kebutuhan praktis gender dari bawah. Pendekatan ini lebih dikenal di kalangan LSM di negara ke-tiga.
- Pelibatan perempuan dan organisasi perempuan sadar gender dalam perencanaan pembangunan (alat 6). Alat keenam ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan-kebutuhan nyata perempuan, artinya berlawanan dengan pengertian atas kebutuhan-kebutuhan yang digabungkan kedalam proses perencanaan yang selama ini dikenal.
- Model SWOT
Model analisa gender ini merupakan suatu analisa manajemen melalui identifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan tantangan. Kedua aspek (eksternal dan internal) dipertimbangkan dalam kaitannya dengan konsep strategis dalam penyusunan program aksi, langkah-langkah atau kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang disamping meminimalkan kelemahan dan tantangan sehingga mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program/kegiatan. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam analisa model ini, antara lain sebagai berikut:
- Langkah 1 adalah proses identifikasi kekuatan dan kelemahan dari masalah-masalah internal kondisi yang ada saat itu serta pemberian bobot pada kondisi yang diinginkan.
- Langkah 2 adalah proses identifikasi peluang ancaman dan tantangan dari masalah-masalah eksternal dengan pemberian bobot pada kondisi yang dinginkan dan keadaan yang ada pada saat itu.
- Langkah 3 adalah proses analisa korelasi kunci internal dan eksternal dengan pemberian kuadran –kuadran sebagai berikut:
- Kuadran I dengan menciptakan strategi “agresif” yang mengembangkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada.
- Kuadran II dengan menciptakan strategi “diversifikasi” yang mengembangkan dan menggunakan kekuatan atau potensi untuk meminimalisasi atau mengatasi ancaman atau tantangan.
- Kuadran III dengan menciptakan strategi yang bertujuan untuk meminimalisasi kelemahan-kelemahan dan memanfaatkan peluang salah satu caranya dengan meninjau ulang kegiatan-kegiatan
- langkah 4 adalah menyusun rencana aksi yang meliputi kegiatan yang responsif gender melalui cara sebagai berikut:
- Menyusun tindakan berdasarkan konsep yang bernilai strategis
- Tindakan yang disusun diurutkan dari awal sampai akhir
- Menetapkan tujuan atau sasaran dari setiap langkah dan kegiatan.
- Menentukan penanggung jawab dari setiap tindakan atau langkah yang diambil
- Menetapkan waktu dari setiap langkah atau tindakan
- Menetapkan pelaksanaan dari setiap kegiatan
- Menetapkan tiga indikator penilaian
- Langkah 5 adalah penjadwalan atau penyusunan sketsa yang mennujukkan rangkaian kegiataan khusus dari aspek pelaksanaan dan rencana kegiatan.
- Model analisa GAP (gender analysis pathway)
Model atau kerangka analisa gender GAP merupakan suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan dari kegiatan pengarusutamaan gender melalui perencanaan kebijakan/program/proyek dari kegiatan pembangunan. Model analisis ini menekankan pada empat aspek penting yang meliputi aspek, peran, kontrol dan manfaat.
Model ini memiliki kekuatan untuk menghasilkan program atau kegiatan yang responsif gender dengan metodologi yang sederhana dan penggunaan data kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan serta adanya peluang untuk memonitor dan mengevaluasi setiap langkah. Sedangkan kelemahan model ini adalah adanya ketergantungan pada data terpilah menurut jenis kelamin, dan biasanya hanya digunakan pada kebijakan atau proyek formal yang biasanya didanai oleh pemerintah dan dibatasi pada aspek perencanaannya.
Model analisa ini memiliki alur kerja analisis gender yang meliputi lima tahap sebagai berikut:
- Tahap I : analisa kebijakan yang responsif gender
- Tahap II:formulasi kebijakan yang responsif gender
- Tahap III: Rencana aksi yang responsif gender
- Tahap IV: pelaksanaan kegiatan yang sudah disusun
- Tahap V : monitoring dan evaluasi dari setiap tahap dan langkah yang diambil.
e. Model PROBA (problem based approach)
Model analisa gender ini adalah suatu teknik untuk menganalisa kesenjangan gender (gender gap). Dengan demikian analisa gender dimulai dengan melihat kesenjangan gender yang selanjutnya dibentuk GFP (gender focal point) dan POKJA PUG dalam tataran pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender. Model analisa ini juga dilengkapi dengan indikator-indikator seperti input, output, outcome dan proses.
Model Proba terdiri dari 5 tahap yang secara keseluruhan meliputi 12 langkah(hanya tahap-tahap yang akan disebutkan dalam makalah ini) sebagai berikut:
- Tahap I merupakan tahap analisa gender yang bertujuan untuk merumuskan masalah gender yang terjadi disetiap instansi atau wilayah.
- Tahap II merupakan tahap analisa kebijakan dari kegiatan atau proyek serta kebijakan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender melalui proses identifikasi, klarifikasi dan penetapan tujuan strategis untuk mewujudkan kondisi yang netral gender.
- Tahap III merupakan tahap formulasi kebijakan baru yaitu dengan cara mereformulasi kegiatan/proyek/kebijakan yang bias gender menjadi responsif gender
- Tahap IV merupakan tahap penyusunan rencana aksi atau menyusun kegiatan yang akan dilakasanakan.
- Tahap V merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk matrik monitoring program dengan menetapkan indikator kerja, membentuk focal point dan pokja PUG sekaligus menyusun mekanisme operasional.
- Tahap VI merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk matrik monitoring program sekaligus menetapkan indikator kinerja.
Kelima model analisis gender yang telah dipaparkan diatas digunakan untuk menela’ah berbagai kegiatan/proyek/kebijakan yang menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kerjasama antara perencana kebijakan, organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan gender dan terutama antar perempuan akan membantu percepatan dari perwujudan kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa relasi sosial antara laki-laki juga penting dalam menyusun semua kebijakan. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan dalam pembangunan menjadi penting karena pengalaman telah menunjukkan bahwa pembangunan yang bersifat dikotomis dengan lebih menekankan pada salah satu jenis kelamin kurang menunjukkan hasil yang signifikan.
.
Sumber bacaan
Kementrian Negara pemberdayaan Perempuan, Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bagi Fasilitator kategori Pengembangan, Jakarta: Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006
Mansour, Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Muawanah, Elfi dan Rifa Hidayah, Menuju Kesetaraan Gender, Malang: Kutub Minar, 2006
Tim Penulis PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN SYAHID, 2003
Tim Peneliti PSG UIN Malang, Baseline Study dan Analisis institusional Kesetaraan Gender Di UIN Malang, Malang: Lemlit UIN Malang, 2006
[1] European Women and Sport, 2002. A New Strategy : Gender Mainstreaming, Paper presented by Teresa Rees at the 5th European Women and Sport Conference in Berlin, April 18th-21st 2002 Hotel Crowne Plaza, Berlin
[2] Mansour Fakih, “Gender Mainstreaming Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan” dalam Gender dan Perubahan Organisasi, Menjembatani Kesenjangan Antara Kebijakan dan Praktek, Terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: INSIST, 1999), h. xxxiii
[3] Ratna Saptari & Brigitte Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 154
Leave a comment