Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘gender studies’ Category


Keberhasilan pembangunan dan keberhasilan dalam menjalani proses historis kehidupan dalam semua tingkatan akan sangat tergantung pada peran serta laki-laki dan perempuan secara bersamaan sebagai pelaku dan pemanfaatnya. Ketidakseimbangan serta peminggiran terhadap peran serta dari salah satu elemen tersebut bisa berakibat pada ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, semua program pemberdayaan harus memperhatikan dan diorientasikan pada pencapaian dan optimalisasi peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.

Kenyataan dilapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun sudah diupayakan dengan berbagai strategi dan pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai  karena pendekatan pembangunan yang dikembangkan belum mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidak adilan gender  yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender. Indikator yang dipakai untuk melihat dan mengukur kesenjangan tersebut digunakan Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Fakta ketidakadilan gender dalam masyarakat Indonesia diperkuat dengan adanya Human Development report tahun 2002 yang menunjukkan GDI Indonesia masih menempati urutan 91 dari 173 negara dan HDI Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 173 negara.Oleh karena itulah berbagai strategi yang dapat meningkatkan pemberdayaan perempuan terus dikembangkan seperti strategi terakhir yaitu strategi pengarusutamaan gender ( Gender Mainstreaming).

Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program, proses dan proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan tindakan yang memprioritaskan kesamaan gender berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2000 yaitu Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing .[1] Pelaksanaan dan implementasi PUG juga didukung oleh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 mengenai segala bentuk diskriminasi

Strategi pemberdayaan ini dirancang sebagai strategi alternatif untuk melengkapi dua strategi terdahulu, Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD), dan dideklarasikan semenjak tahun 1995 pada Forth World Conference on Women di Beijing.[2] WID sebagai strategi pertama popular pada 1975-1985 ketika tahun-tahun itu dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”.[3] Sejak saat itu, hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan Wanita, dengan fokus utama meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Strategi peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu analisis yang lebih memfokuskan pada kaum perempuannya. Strategi ini dibangun di atas asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan. Analisis ini mengharuskan adanya usaha untuk menghilangkan diskriminasi yang menghalangi usaha mendidik kaum perempuan.

Akan tetapi, strategi WID banyak mendapat kritik terutama dari kelompok feminis dengan menekankan tiga asumsi dasarl, yaitu:

1.                            strategi ini diasumsikan sebagai agenda dari dunia pertama terhadap dunia ketiga

2.                            diasumsikan strategi ini memiliki bias kepentingan dari kelompok feminisme liberal yang diwakili oleh perempuan kulit putih yang dipandang tidak memiliki kepentingan dengan pembebasan para perempuan didunia ketiga

3.                            diasumsikan bahwa strategi ini lebih mengarah pada pengekangan terhadap para perempuan dan bukan merupakan upaya pembebasan.

Kritik lain yang dilancarkan untuk strattegi pemberdayaan ini adalah strategi ini lebih menekankan atau focus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan dan relasi social antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan.[4]

Strategi kedua muncul dengan lebih memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi, dan budaya hidup masyarakat yang melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dikenal dengan ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak persoalannya bukanlah pada kaum perempuan sebagaimana diasumsikan semula, akan tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Strategi kedua ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur gender inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi WAD (Women and Development) setelah tidak berhasilnya strategi WID. Berbeda dengan WID yang melahirkan proyek-proyek peningkatan peran perempuan seperti proyek peningkatan penghasilan perempuan dan didirikannya kementerian peranan wanita, maka puncak keberhasilan strategi kedua ini menghasilkan kebijakan global yang monumental bagi perjuangan kaum perempuan ini, yakni dengan diterimanya secara global konvensi anti segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elemination of all Form of Discrimination Againts Women) tersebut.

Selanjutnya dalam konferensi Nairobi tahun 1985 dibicarakan kemungkinan memasukkan perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan pembangunan serta diperkuat konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya platform action strategi gender mainstreaming. Dalam konferensi tersebut dibicarakan upaya mengurangi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD yang tujuan dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam pembangunan. Sasaran utama kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi (masyarakat), institusi (organisasi dan masyarakat).

Untuk melihat apakah strategi gender mainstreaming sudah diterapkan atau tidak, gender scan adalah salah satu instrumen yang dapat dipakai sebagai langkah strategis.Akses dan kontrol terhadap SDM dalam organisasi, sensitifitas gender dalam pengembangan perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategis gender (gender need), kesamaan gender di organisasi dan pembagian kerja berdasarkan gender merupakan perangkat yang terdapat dalam gender scan. Selain itu,untuk menyusun program dan membuat kebijakan yang responsif gender harus berdasarkan data dan informasi yang akurat yang diperoleh dari proses pengolahan dan analisa tepat. Proses analisa data tersebut dikenal dengan istilah analisis gender. Ada lima jemis model analisis gender yang dikenal  di Indonesia, yaitu:

  1. Model Harvard

Suatu kerangka analisis gender yang paling awal dikembangkan dimana pendekatannya berdasarkan efisiensi WID untuk melihat profil gender secara mikro dan peran gender dalam proyek pembangunan serta dalam perencanaan berbagai program kegiatan.  Kerangka analisis ini  dikenal dengan kerangka analisis Harvard. Dikembangkan pada mulanya oleh Harvard Institute For International Development yang bekerjasama dengan kantor Women In Development (WID) USAID. Perspektif yang digunakan model Harvard ini lebih tepat digunakan untuk perencanaan proyek yang lebih bersifat  ekonomis dan lebih tepat untuk perencanaan proyek daripada kebijakan karena model ini bisa menunjukkan bagian-bagian proyek yang perlu disesuaikan dengan tujuan proyek. Analisis model Harvard ini meninjau dari 4 (empat) komponen dasar antara lain:

  1. Profil kegiatan, yang dianalisa dan diidentifikasi dalam profil ini beberapa parameter seperti umur (misalnya, siapa mengerjakan apa sehingga pola relasi gender dan dampak yang ditimbulkan dapat teridentifikasi melalui pemetaan pekerjaan berdasarkan umur dan jenis kelamin), alokasi waktu (menunjukkan apakah kegiatan dilakukan pada waktu tertentu seperti harian atau waktu-waktu tertentu saja), lokasi kegiatan (menunjukkan dimana kegiatan dilakukan) dan pendapatan (menunjukkan uang atau pendapatan yang dihasilkan dari suatu kegiatan)
  2. Profil akses dan kontrol, dalam profil ini yang dianalisa adalah sumber-sumber yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melakukan suatu kegiatan serta manfaat yang didapat oleh masing-masing dari hasil kegiatan.
  3. Analisis faktor, dalam profil ini yang dilihat adalah faktor-faktor dasar yang memepengaruhi dua poin diatas termasuk faktor yang menentukan pembagian kerja berdasarkan gender.
  4. Analisis siklus proyek, penelaahan proyek berdasarkan data  yang diperoleh dari analisis terdahulu dengan melihat kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana yang bisa dipengaruhi oleh  proyek yang akan dilaksanakan.
  1. Model Moser

Model analisa ini lebih mengasumsikan bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan politis sehingga dalam proses perencanaan dan dan transformasi terdapat konflik. Ada 6 (enam) alat yang digunakan dalam perencanaan semua tingkatan dar perencanaan proyek dari level pusat sampai level daerah, antara lain:

  1. Identifikasi peranan gender /Tri Peran (alat 1) yang mencakup penyusunan pembagian kerja gender dalam rumah tangga selama 24 jam.
  2. Penilaian kebutuhan gender (alat 2). Alat kedua ini memetakan kebutuhan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang berbeda berdasarkan minat yang bersifat praktis dan strategis.
  3. Pemisahan kontrol atas sumberdaya dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga (alat 3). Alat ini menganalisa dan menunjukkan siapa yang mengontrol sumberdaya dalam rumah tangga termasuk siapa yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam penggunaan sumberdaya keluarga dan bagaimana proses keputusan tersebut dibuat.
  4. Penyeimbangan peran (alat 4). Alat ini menganalisa peran perempuan dalam mengelola keseimbangan antara tugas-tugas produktif, reproduktif dan publik (sosial kemasyarakatan).
  5. Matriks kebijakan WID (Women in Development) dan GAD (Gender and Development). Kedua matriks tersebut memberikan kerangka untuk mengidentifikasi atau mengevaluasi pendekatan yang digunakan yang ditujukan pada tri peranan seperti disebeutkan diatas termasuk kebutuhan gender yang bersifat praktis dan strategis dalam proyek. Matriks ini dibedakan lagi kedalam lima pendekatan, yaitu: pertama, kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan ini bertujuan untuk mengakui peran reproduktif perempuan dengan pemenuhan kebutuhan praktis gender perempuan selain membawa perempuan kedalam pembanguanan sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki kemampuan yang lebih baik. Kedua, Matriks keadilan. Pendekatan matriks ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi perempuan dengan menempatkan mereka sebagai partisipan aktif dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan strategis gender serta pengakuan tri peranan perempuan. Dalam hal ini pemerintah melakukan intervensi langsung dengan pemberian otonomi politik dan ekonomi serta pengurangan ketidaksetaraan perempuan dengan laki-laki. Dengan kata lain, pendekatan ini menolak adanya subordinasi perempuan. Ketiga, anti kemiskinan.  Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas perempuan miskin. Akan tetapi pendekatan ini tidak melihat kemiskinan perempuan sebagai dampak dari  subordinasi akan tetapi hanya sebagai masalah keterbelakangan. Keempat, efisiensi. Pendekatan ini merupakan pendekatan utama dalam analisa model Moser. Dalam pendekatan ini yang menjadi titik tekan adalah kontribusi ekonomi perempuan dalam kerangka pembangunan yang efisien dan efektif karena partisipasi disini dianggap sama dengan keadilan. Pendekatan ini berusaha memnuhi kebutuhan praktis gender dengan mengandalkan tri peranan dan konsep waktu yang dimiliki perempuan yang elastis dan fleksibel. Kelima, pemberdayaan. Pendekatan ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan melalui kepercayaan diri perempuan yang lebih besar. Pendekatan ini melihat bahwa subordinasi perempuan dinilai tidak hanya karena dominasi laki-laki tetapi juga karena penindasan  kolonial dan neo-kolonial. Pendekatan ini juga mengakui tri peranan perempuan dan ada upaya pemebuhan kebutuhan praktis gender akan tetapi secara tidak langsung melalui  mobilisasi kebutuhan praktis gender dari bawah. Pendekatan ini lebih dikenal di kalangan LSM di negara ke-tiga.
  6. Pelibatan perempuan dan organisasi perempuan sadar gender dalam perencanaan pembangunan (alat 6). Alat keenam ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan-kebutuhan nyata perempuan, artinya berlawanan dengan pengertian atas kebutuhan-kebutuhan yang digabungkan kedalam proses perencanaan yang selama ini dikenal.
  1. Model SWOT

Model analisa gender ini  merupakan suatu analisa manajemen melalui identifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan tantangan. Kedua aspek (eksternal dan internal) dipertimbangkan dalam kaitannya dengan konsep strategis dalam penyusunan program aksi, langkah-langkah atau kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang disamping meminimalkan kelemahan dan tantangan sehingga mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program/kegiatan. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam analisa model ini, antara lain sebagai berikut:

  1. Langkah 1 adalah proses identifikasi kekuatan dan kelemahan dari masalah-masalah internal kondisi yang ada saat itu serta pemberian bobot  pada kondisi yang diinginkan.
  2. Langkah 2 adalah proses identifikasi peluang ancaman dan tantangan dari masalah-masalah eksternal dengan pemberian bobot pada kondisi yang dinginkan dan keadaan yang ada pada saat itu.
  3. Langkah 3 adalah proses analisa korelasi kunci internal dan eksternal dengan pemberian kuadran –kuadran sebagai berikut:
  • Kuadran I dengan menciptakan strategi “agresif” yang mengembangkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada.
  • Kuadran II dengan menciptakan strategi “diversifikasi” yang mengembangkan dan menggunakan kekuatan atau potensi untuk meminimalisasi atau mengatasi ancaman atau tantangan.
  • Kuadran III dengan menciptakan strategi yang bertujuan untuk meminimalisasi kelemahan-kelemahan dan memanfaatkan peluang salah satu caranya dengan meninjau ulang kegiatan-kegiatan
  1. langkah 4 adalah menyusun rencana aksi  yang meliputi kegiatan yang responsif gender melalui cara sebagai berikut:
    • Menyusun tindakan berdasarkan konsep yang bernilai strategis
    • Tindakan yang disusun diurutkan dari awal sampai akhir
    • Menetapkan tujuan atau sasaran dari setiap langkah dan kegiatan.
    • Menentukan penanggung jawab dari setiap tindakan atau langkah yang diambil
    • Menetapkan waktu dari setiap langkah atau tindakan
    • Menetapkan pelaksanaan dari setiap kegiatan
    • Menetapkan tiga indikator penilaian
  2. Langkah 5 adalah penjadwalan atau penyusunan sketsa yang mennujukkan rangkaian kegiataan khusus dari aspek pelaksanaan dan rencana kegiatan.
  1. Model analisa GAP (gender analysis pathway)

Model atau kerangka analisa gender GAP merupakan suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan dari kegiatan pengarusutamaan gender melalui perencanaan kebijakan/program/proyek dari kegiatan pembangunan. Model analisis ini menekankan pada empat aspek penting yang meliputi aspek, peran, kontrol dan manfaat.

Model ini memiliki kekuatan untuk menghasilkan program atau kegiatan yang responsif gender  dengan metodologi yang sederhana dan penggunaan data kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan serta adanya peluang untuk memonitor dan mengevaluasi setiap langkah. Sedangkan kelemahan model ini adalah adanya ketergantungan pada data terpilah menurut jenis kelamin, dan biasanya hanya digunakan pada kebijakan atau proyek formal yang biasanya didanai oleh pemerintah dan dibatasi pada aspek perencanaannya.

Model analisa ini memiliki alur kerja analisis gender yang meliputi lima tahap sebagai berikut:

  1. Tahap I : analisa kebijakan yang responsif gender
  2. Tahap II:formulasi kebijakan yang responsif gender
  3. Tahap III: Rencana aksi yang responsif gender
  4. Tahap IV: pelaksanaan kegiatan yang sudah disusun
  5. Tahap V : monitoring dan evaluasi dari  setiap tahap dan langkah yang diambil.

e. Model PROBA (problem based approach)

Model analisa gender ini adalah suatu teknik untuk menganalisa kesenjangan gender (gender gap). Dengan demikian analisa gender dimulai dengan melihat kesenjangan gender yang selanjutnya dibentuk  GFP (gender focal point) dan POKJA PUG dalam tataran pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender. Model analisa ini juga dilengkapi dengan indikator-indikator seperti input, output, outcome dan proses.

Model Proba terdiri dari 5 tahap yang secara keseluruhan meliputi 12 langkah(hanya tahap-tahap yang akan disebutkan dalam makalah ini) sebagai berikut:

  1. Tahap I merupakan tahap analisa gender yang bertujuan untuk merumuskan masalah gender yang terjadi disetiap instansi atau wilayah.
  2. Tahap II merupakan tahap analisa kebijakan dari kegiatan atau proyek serta kebijakan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender melalui proses identifikasi, klarifikasi dan penetapan tujuan strategis untuk mewujudkan kondisi yang netral gender.
  3. Tahap III merupakan tahap formulasi kebijakan baru yaitu dengan cara mereformulasi kegiatan/proyek/kebijakan yang bias gender menjadi responsif gender
  4. Tahap IV merupakan tahap penyusunan rencana aksi atau menyusun kegiatan yang akan dilakasanakan.
  5. Tahap V merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk matrik monitoring program dengan menetapkan indikator kerja, membentuk focal point dan pokja PUG sekaligus menyusun mekanisme operasional.
  6. Tahap VI merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk matrik monitoring program sekaligus menetapkan indikator kinerja.

Kelima model analisis gender yang telah dipaparkan diatas digunakan untuk menela’ah berbagai kegiatan/proyek/kebijakan yang menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kerjasama antara perencana kebijakan, organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan gender dan terutama antar perempuan akan membantu percepatan dari perwujudan kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa relasi sosial antara laki-laki juga penting dalam menyusun semua kebijakan. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan dalam pembangunan menjadi penting karena pengalaman telah menunjukkan bahwa pembangunan yang bersifat dikotomis dengan lebih menekankan pada salah satu jenis kelamin kurang menunjukkan hasil yang signifikan.

.

Sumber bacaan

Kementrian Negara pemberdayaan Perempuan, Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bagi Fasilitator kategori Pengembangan, Jakarta: Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006

Mansour, Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Muawanah, Elfi dan Rifa Hidayah, Menuju Kesetaraan Gender, Malang: Kutub Minar, 2006

Tim Penulis PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN SYAHID, 2003

Tim Peneliti PSG UIN Malang, Baseline Study dan Analisis institusional Kesetaraan Gender Di UIN Malang, Malang: Lemlit UIN Malang, 2006


[1] European Women and Sport, 2002. A New Strategy : Gender Mainstreaming, Paper presented by Teresa Rees at the 5th European Women and Sport Conference in Berlin, April 18th-21st 2002 Hotel Crowne Plaza, Berlin

[2] Mansour Fakih, “Gender Mainstreaming Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan” dalam Gender dan Perubahan Organisasi, Menjembatani Kesenjangan Antara Kebijakan dan Praktek, Terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: INSIST, 1999), h. xxxiii

[3] Ratna Saptari & Brigitte Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 154

4. Junaidatul Munawwarah dalam “Pengantar Kajian Gender” ( PSW UIN Syarif Hidayatullah dengan DEPAG RI-CIDA, Jakarta: 2003) h. 181-182

Read Full Post »

Indonesia dalam beberapa tahun ini dihadapkan pada berbagai rentetan masalah dan konflik sosial. Ironisnya, dalam banyak kasus konflik sosial, perempuan selalu menjadi korban yang paling memprihatinkan, baik dalam bentuk pelecehan, kekerasan maupun pemerkosaan yang pada dasarnya merupakan suatu perwujudan dari kekerasan berbasis gender.

Peristiwa Mei 1998 adalah salah satu contoh nyata lainnya dimana perempuan mengalami berbagai jenis diskriminasi (multiple discrimination) yang berujung pada pelecehan dan kekerasan. Contoh lainnya adalah nasib buruh migrant perempuan terutama sejak krisis moneter 1997 yang melanda bangsa Indonesia, dimana semakin banyak perempuan yang menempati posisi yang termiskinkan (Feminization of poverty) dikantong-kantong kemiskinan yang ada. Akibatnya banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya dengan menjadi buruh migrant yang rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan seperti menimpa pada TKW. Belum lagi perdagangan perempuan yang semakin marak serta kesengsaraan perempuan pengungsi akibat bencana bencana alam seperti badai tsunami pada tanggal 26 Desember 2004

Berbagai hambatan dan ancaman kekerasan, dalam situasi konflik maupun pemulihan konflik, yang sewaktu-waktu bisa terjadi, masih ada kelompok perempuan yang tetap berupaya menggalang solidaritas sebagai perekat bagi para perempuan untuk mewujudkan solidaritas sesama perempuan. Perempuan di Aceh melakukan begitu banyak berperan pada masa konflik seperti menjemput mayat para suami atau laki-laki yang tewas ketika dirumah sakit atau tempat-tempat ditemukan mayat sambil melakukan ritual keagamaan, mendukung secara spiritual maupun materiil disamping harus tetap tinggal ditempat mereka untuk melanjutkan setelah hidup para suami yang pergi meninggalkan desa, meninggal, hilang atau sengaja meninggalkan desa dengan alasan konflik dan keamanan.

Dalam situasi seperti diatas, fungsi perempuan yang semula dikonstruk sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan (jika diperlukan), berubah menjadi kepala keluarga. Bahkan lebih jauh lagi, di beberapa desa para perempuan mengorganisir diri dalam sebuah kelompok untuk berbagi pengalaman dan menggali potensi. Dalam kasus konflik  di Aceh, kelompok perempuan seperti tersebut diatas dinamakan kelompok “Peka”. Perempuan dalam situasi seperti itu sangat perduli dan antusias serta konsisten  untuk berbagi pengalaman  yang selanjutnya mengarah pada penggagasan konsep, persiapan serta pelaksanaan trauma healing yang berbasis komunitas.

Walaupun perempuan sudah melakukan tindakan nyata dalam proses rekonsiliasi maupun saat terjadi konflik, peran mereka sering dinafikan bahkan mereka tidak pernah dilibatkan dalam forum-forum resmi rekonsiliasi yang pernah digagas oleh berbagai pihak. Hal itu tidak lebih hanya disebabkan oleh pandangan bahwa mereka adalah orang desa dan perempuan sehingga kedudukan mereka dalam forum-forum resmi tidak dianggap penting dan layak untuk didengar pendapatnya tentang rekonsiliasi dan perdamaian. Pada kenyataannya upaya pemulihan dan rekonsiliasi sudah dijalankan oleh para perempuan secara baik walaupun masih dalam lingkup dan lingkungan yang lebih kecil walaupun mereka tidak pernah mengucapkan kata – kata “healing” dan “recovery”.

HAM adalah salah satu alat yang diharapkan mampu “membentengi” perempuan dari segala tindak kekerasan, diskriminasi dan berbagai hal yang tidak menguntungkan seperti yang telah dicontohkan diatas bagi perempuan. Akan tetapi, HAM pada tataran operasional juga memiliki permasalahan karena ia dihadapkan pada kepentingan-kepentingan akibat perbedaan perspektif antara Negara-negara Maju dan Negara yang berkembang. Bagi negara-negara maju, HAM harus berlaku secara mutlak dan universal sebab HAM melekat pada manusia karena ia adalah manusia  bukan karena cirinya yang bersifat regional dan kultural yang beranggapan bahwa penerapan HAM harus mempertimbangkan perbedaan budaya, adat istiadat, hukum, kepercayaan agama, pandangan politik dan nilai-nilai kebangsaan suatu bangsa. Sehingga dalam menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan HAM berikut implementasinya harus menyesuaikan dengan kondisi masing-masing Negara.

Perdebatan tentang artikulasi makna dan implementasi HAM di Indonesia masih diwarnai konsensus tumpang tindih lintas budaya dan agama. Sementara di sisi lain struktur budaya dan kesadaran teologis umat ketika dibenturkan dengan pola relasi penanganan HAM antara laki-laki dan perempuan juga memunculkan persoalan yang lebih kompleks berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender yang perlu mendapatkan solusi alternatif secara kontekstual. Dengan kata lain, perempuan masih membutuhkan perjuangan panjang untuk bisa ditempatkan sebagaimana mestinya seperti laki-laki diperlakukan tanpa kekerasan dan penuh penghormatan selayaknya sebagai manusia.

 

 

Read Full Post »

MARRIAGE AND THE INDEPENDENCY OF WOMEN

(A CASE STUDY ON EARLY MARRIAGE IN LOCAL AREA IN MADURA)

Abstrak

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang mengandung nilai ibadah dan suatu tahap kehidupan penting bagi seseorang dengan berbagai tujuan hidup. Oleh karena itulah,segala aspek yang terkait dengan  perkawinan haruslah didasari dengan keputusan yang disadari secara penuh bagi yang melakukan,  yaitu suami atau istri. Dalam konteks ini, kadangkala kemandirian dan hak perempuan seperti penentuan usia perkawinan dan pemilihan pasangan terabaikan terutama pada masyarakat desa atau daerah-daerah dimana masih terdapat bias gender terhadap status dan perempuan yang dikonstruk sebagai suatu kearifan dan norma loka yang seringkali berdampak negatif bagi semua pihak. Dengan demikian, kemandirian perempuan dalam perkawinan semestinya dikembalikan pada pada perempuan agar tujuan mulia  perkawinan dapat terwujud

A. Preface

Marriage serves many purposes for either men or women. For women in rural area, for instance, marriage is an important phase of their life. It can be perceived as natural cycle of life by the women. For many, it is also a need to preserve their existences in society. For individuals, marriage is a variously economic ticket, a socializing influence, a form of child care, a means of escape from social constrains and the locus of many other hopes and desires. What is interesting from the point of viewing marriage is the different purposes which marriage is expected to serve women in various angles. In local area, usually the emphasis on marriage for women has been on moral and social as well as, to some extent, outcomes, both for themselves and for society. As the irony of the fact of the importance of marriage, particular aspect in marriage such as age is mostly ignored by society and by women themselves although it is closely related to the issue of women’s independency. The line of the debate is on the prerogative of women in deciding the age that they want to get married and the person they want to marry with. However, not all the cases of early marriage are the problems of loosing personal prerogative as it can be free and personal choice

B. Early Marriage and the independency of local area women

As Blackburn [1] suggested that the age at which it is appropriate for girls to marry has been a contentious matter in many countries. Furthermore, she pointed out that for certain societies, marriage is considered as family’s prerogative. It brings up the age of marriage to be quite young. Children in this case are rarely to be consulted about marriage and they seldom propose their own will. Moreover, the marriageable age based on the adulthood qualities for daughters to be a wife and a mother is usually ignored by people in general and particularly by the parents. In fact, if the qualities are put into main consideration the marriage could run stable. Furthermore, divorce and its undesirable impacts are probably can be avoided. Then, the next question is that should girls or daughters are allowed to choose their husbands by themselves. The standard age which is suitable for getting marriage is another main question. The aim of proposing these two inquiries is to let the girls know all the consequences of marriage. For instance, girls should know the result of getting marriage before eighteen such as how quickly their body will deteriorate after giving a birth.

Consideration of girls to get marriage earlier is differently argued by people. For many, if the girls had menstruated and reached the age of fifteen, she was old enough to marry. A story of Don Juan reveals the way of Minangkabaus people perceive marriageable age for their daughters. This story tells:

It is right for parents to choose the husband. And among us (matrilineal) Minangkabaus, the rights of male elders must be consulted. If you leave it to a girl, she may be tricked into marriage by a womanizer or misled by men who deceived girls as we read about in Europe.[2]

Strictly speaking, early marriage in one village in Madura is commonly practiced and is differently perceived by people in this village.[3] On the one hand, marriage in the very early age may generate undesirable impact on the children particularly on women as wives. Many possible undesirable impacts are proposed by women in Tlokoh regarding the age of marriage and the prerogative of marriage itself. For many (e.g. a woman figure in the village) pointed out that the practice of early marriage is, to some extent, harmful for women. She puts in this way:

I was very young when I got married. Early marriage can destroy daughters’ life because when they got marriage they did not have complete understanding of how to handle the family. Furthermore, the decision of parents to choose husband for their daughters is also harmful for the husband. The chosen husband may have not reach marriageable age that makes him not ready yet to manage the family’s matters. Moreover, he is probably not financially ready yet. As a result, the family may face obstacles due to lack of financial and psychological preparation.

In addition, another chance to interview other respondents reveals the same line of thought to perceive that early marriage is common but less desirable for the wife. For instance, a primary school teacher in this village suggested that to get marriage in the very early age distort girls’ freedom to express what they want including their own plan of the future. The independency of daughters to make decision for her personal matters is not on her hands. This is commonly parents’ worry that plays role in supporting early marriage to exist in rural area.

Parents are worried if their daughters will not have husband or will get older without any spouses. People in village are economically weak, so they cannot afford school fee to send their children to school. As a result, most girls have nothing to do. They have no significant activities except helping their parents in the farm or cutting grass for the husbandry. Then, if there is a man asking for marrying the daughters, the parents will agree directly. The opportunity that comes to the village girls in that situation above is getting marriage in the very early of their ages. Sometimes they do not know what the meaning of being a wife was. The worst thing is that the parents just accept the husband’s offering without asking their daughters before whether they like to marry soon or not. [4]

Interestingly, as suggested by another research [5] in Madura which reveals the fact of minimum age of marriage that is still low. This research explains the way of Madurese views on marriage that for them the important thing is to follow their own version of Islamic law. In addition, anecdotal evident is also found in this research about special dispensation of marriage age. Some parents usually collude with some local officials in disguising child marriage. This “negotiation” usually occurred due to the marriage below the age of sixteen are not permitted officially. As a result, corruption of age is issued or age can be incorrectly recorded at marriage. In addition, the corruption may be urgently to be practiced due to certain circumstances such as pregnant girls who need to be married off quickly. However, cultural attitudes are also important: particularly in strong Islamic rural areas many people consider it desirable that girls be married as early as possible.[6] It is commonly found that Indonesians practice cultural belief and make the practice as legal that is often justified by religion. A notion proposed by Mulia in her article “Toward Just Marital Law” argues that Indonesian society is currently facing a number of social problems related mostly on the issue of women. Particular cases related to women such as exploitation and discrimination exist in Indonesian society, including domestic violence, women and children trafficking through marriage, high number of underage children marriage and unregistered marriage, and widespread practice of prostitution need a reform of Marital Law although those aforementioned problems are social problems.[7]

Additionally, the previous research in Bangkalan regency of Madura in 1977 suggested the ineffectiveness of the 1974 Marriage Law in this island which is also responsible for the age of marriage. Marriage in the earlier age was remained widespread among girls below twenty in one of sub-districts in Bangkalan regency. There was an identifiable trend toward early marriage. This research also reveals that the marriage of girls under sixteen remained commonplace and was widely accepted within the community.[8]

Like in this village where the research is conducted, early marriage among teenagers is a widely accepted to be practiced. The teenagers, especially women, who have graduated from elementary school (SD) are considered or might consider themselves as capable to get married. The previous observation confirmed the earlier evident that a far greater percentage of girls marry before twenty. Most of people in this village marry on the age of 13- 16 years old for the women. Meanwhile, the men usually aged 16 or 17 years old when they get married. During this research is conducted, there is a young couple is found to have the formal letter from KUA while they got married when the woman was 15 and the man was 17. Therefore, it is not surprising when people in those ages are already become a widow or widower.

Nonetheless, it is also a possibility that among the people in the village there are still who practice later marriage. Their proportion, however, still less than those who marry earlier due to the social tradition of the village. Moreover, in local madrasah particular classical Islamic books such as uqudul Lujen and Risalah Nikah are already taught for the teenagers.[9]

Much has been argued about the tradition of early marriage in this village, including the women themselves. Other women saw marriage in the very early as a significant impact which needed to be brought into line with its search for the benefits and social order.[10] There were a number of reasons for this acceptance. According to those who agree with the tradition of early marriage, it is good for women socially and economically. It seems that this village women view that early marriage can be tolerated due to its positive aspects that can prevent youngsters from undesirable impacts of free relationship, free sex and uncontrolled social interaction. By choosing husband for the daughters, parents are released from the responsibility to protect the daughters from bad things. Moreover, this is also for those girls who have no particular activities such as working or studying. From the idea releasing responsibility, women or daughters tend to be a burden for parents in terms of culture, local norms and religious doctrines. The emphasis of protection is much on women including to provide a husband for the girl since the boys do not get the same treatment.

Social order is another point to let the children marry earlier.  What is meant by social order is social construction what activity is less accepted in this village. It is considered a taboo if single women walk around the village without any clear needs. This phenomenon of social construction leads to the idea of the separation of public and private sphere becomes crucial to control women’s sexuality. Therefore, sexual morality is the concern to “protect” women from “being alone” in public sphere but not protecting men.  In most women’s view, it is better if women with no exact activities get married earlier in Madura particularly in rural area. It will be social problems if they find single women do such activities. People, men and women, will make it as a social issue that will probably make them discuss the girls’ attitude to their parents or their relatives. Therefore, social control towards women is reflecting the issue of women status and role socially and culturally that may be different across culture and religion. Take for example what has been proposed by Whyte[11] that women’s status and their role in rural Asia still experienced the traditional sex role concept in the nuclear family. Meaning that, they still perform four common roles such as a wife, a housekeeper, child-rearer and as a mother. In addition, a society that has being gendered, he stated that “women and men, girls and boys, are treated in systematically different ways (by both women and men). They have different experiences at school, at work and at home, they do different things and different things are expected of them. In other words, women and men have different life experiences to an extent that cannot be explained by simple biological differences between the sexes.”

Then, it is interesting to consider how people in local area like in this village interpret what is considered   to “have activity” and “not to have”. Helping parents in farming or cutting grass for feeding the husbandry are not quite enough to be called as an activity. This is my understanding that “activity” for people in this community is working to be waged or to get money. Therefore, most women try to work to get money to lessen the parents’ burden financially even to financially support their family. The girls, usually, earn money from trading or they go to other places such as to Kalimantan and mostly to other parts in east Java. Those activities can be considered as “activity”.  Interestingly, women are led to be independent economically. Therefore, when they are not working to get the money, they are perceived to not have the clear activities, then. However, the primary emphasis is not producing much money. It is not all the case that women must be independent. Working is just to make women not to do useless things outsides the house. This is due to people concern much on the social norm of two different sexes’ social relationship (men and women) to search the harmony and to maintain the social order. Women are socially protected in this case.

The logic of practicing early marriage as one good way to maintain social order also explains why parents prefer their daughters marry earlier. Parents are usually happy when a man asks the daughter to be his wife. There are several reasons which may contribute in this case. First, to have son in-law earlier is family’s pride. It is a pride for parents when there is an offering for marriage for their daughters. As informed by an informant from local government office in Kokop sub-district that early marriage is part of parents’ pride.[12] His information also reveals the common range for daughters to get marriage. It is around 11 until 12 years old. Parents may feel worried when the daughters have not got married when they aged more than 16. It will be a perception that the daughters are hard to find a husband and it will be a big worry for them.

The most interesting argument and forthright views are expressed by two women in this village (Ainy and hajar).  Hajar made a strong argument for women to accept the practice of early marriage and the authority of parents to choose husband for them. In her view, it is essential to marry earlier for women in Madura considering their future live. Women would need to learn to realize that they need a partner in their life because it is inescapable fact that the ideas of women are men’s partner in many respects. She pointed out her agreement in this way:

I agree with the tradition of early marriage in Madura particularly in this village. Marriage aims for taking care and protecting women’s life in the future emotionally as well as economically. That is why I support early marriage because it will be safe    women’s life earlier. When I got married in the very early of my age, I did not dare to refuse the offering of a man because I was afraid that I would have no husband easily in the next time. Although my first marriage ended with divorce but it was not because of my husband’s fault or mine. My husband, he was the good choice for me. I prefer to divorce with him because external problems beyond our personal problems. Anyway, early marriage is good to be accepted by women.

The focus here is on the fear of finding a husband not merely finding the right person to be long life partner. This is such kind, to the writer, of personal fear to not have a husband if once a woman refuse an offering of marriage. It will be bad luck for women in the future. In addition, surrounding people will question a woman who refuses a man. They may think that this woman is too selective for woman’s standard in rural area. Woman can be struck down by a calamity by this.

In terms of “men’s protection” as has been suggested by Hajar, Ainy is another woman who views positively on early marriage. According to this one-child mother, early marriage is not a big thing for Madurese people since women in Madura seldom to have specific activities. To quote Aini’s statement “ It is better if women get married and there is husband who will protect them. What these two women said about women and early marriage is basically in line with the thought of most women in the village. From the total number of respondent (45 women from different socio-economical backgrounds) only two of them who consider the undesirable impacts of early marriage on women. Meanwhile, the rest tend to give positive response to marry earlier. For them, marry is life cycle that women should pass trough in their life. One aspect of life is to find our soul mate as our partner in life through marriage. If a man comes to propose marriage, there is no reason for woman to refuse as long as he is morally and socially is admitted by people.

A recent case of early marriage occurred in this village of which a twelve-year old girl got married with a boy who is in the same age with her. The parents are curious that their daughter had special relationship with the boy. When the boy made the first visit, the girl’s parents ask him to marry the girl. Interestingly, the boy agreed as well as his parents. Then, the marriage occurred by that time. From the girl’s family, parents feel that they already done their responsibility to protect their daughter’s from immoral attitude and to find a husband for her. When this young wife was interviewed, she reveals the way she thought about her early marriage this way:

I do not know what the meaning of being women is. I just have to follow what my parents order me to do especially about marriage. When I knew a man and he visited my house, my parents proposed us to get married. I accepted it. Then, what I have to now is just to follow my husband wherever he goes.

For such women in this village, early marriage had an almost personally revelatory impact and bonded them to the new experience. And it was marriage earlier that protects them from negative impact of free social interaction with men. It was also early marriage which gives them economical as well as social “protector”. A partner in family bound who can be a partner in several affairs. Therefore, for almost women in this village, it is not a big issue to be questioned and to against the practice of early marriage as women may experience the positive aspects of it. However, it does not mean that they do not consider the negative aspect that they just find early marriage is one way to protect women socially and economically. It might be argued, then, particular Madurese women give their right to be independent in marriage to those who represent them socially. It is not a big deal for them since gender issues (e.g. subordination) internalize in a local context and it is already accepted.

C. Conclusion

Above all the issues, marriage in a local norm, to some extent, ignores women’s independency to regulate their marriage in particular aspects. Therefore, a mutual consent of women becomes critical in marriage although women “sincerely” abandoned her rights to be represented by their male guardians (walis) in marriage. Women should be ensured their freedom in such situations on the concept of consultation as the basic principle of marriage since women must be acknowledged their personal and basic rights to be independent to make decision in their life. In closing it may be safely argued that marriage is a media of which gender is respected and equal rights (men and women) are admitted by social and religious framework. As all such attempts to describe the independency of women in relation with marriage, further research should be conducted.

References

Blackburn, Susan, women and the State in Modern Indonesia,UK: Cambridge University Press, 2004

Bowen, John R, Islam, Law and Equality in Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2003

BPS Bangkalan,Bangkalan in Figures 2003, Bangkalan: BPS kabupaten Bangkalan, 2004

Ellington, Stephen and M. Christian Green, Religion and Sexuality in Cross Cultural Perspectives, New York: Routhledge, 2002

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001

Mayling, Oey, et all., Indonesian Women, The Journey Continues, Canberra: Goanna Print Pby Ltd., 2000

Mulyati, Sri (ed), Relasi Suami Istri Dalam Islam, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2004

Orr, Robert Whyte and Pauline Whyte, the Women in Rural Asia, USA: Westview Press, Inc, 1982

Report of Proceeding on The Regional Workshop, Islam, Reproductive Health and Women’s Rights, organized by Sisters in Islam, held in Kuala Lumpur Malaysia at 20th-23rd , August,1998

Subaharianto, Andang, et all., Tantangan Industrialisasi Madura, Malang: Bayumedia Publishing, 2004


[1]Susan Blackburn, women and  the State in Modern Indonesia (UK, Cambridge University Press;2004)  p. 57

[2] Blackburn,…….p.60

[3] The interview is taken from research conducted in one village in Kokop Sub-district in Madura as part of the writer’s master program.

[4] The idea is concluded from the result of interview with the wife of social and religious figure of the village where the research is conducted. Her husband’s social position makes her to be respected by the people. She also play significant social role to be consulted when there is a social problem. However, her role becomes significant after the death of her husband. She was around 12 years of her age when she got married. The phenomena of women loosing independency in aspect of marriage is a cross cultural phenomenon and long rooted tradition. History of Pagan Community also notes that women were regarded as only sexual object of men. Sometimes, the fathers of Pagan girls just gave their daughter to men without asking anything or the father just asking other fathers to be allowed to marry their daughter. It happened as if an exchange daughters to be wives.

[5] See research by Jones (2001) in Blackburn

[6] For further explanation on the practice of early marriage see BlackBurn, Women… chapter 3.

[7] Musdah Mulia, Toward Just Marital Law, issued (dialog con I’Islam)  at WWW.cisro.net/index.php

[8] BlackBurn, Women…….. P. 78

[9] The content of those two classical Islamic text books are about all aspects of marriage such as right and duties of wife and husband. Usually they are also taught in another Islamic educational institution like in pesantren.

[10] From the total number of respondents (45 women) only two people who pointed out the undesirable impact of early marriage. Meanwhile, the rest of respondent view the marriage earlier positively. However, those two women still accepted to get marry earlier although they propose the less desirable aspect of the practice.

[11] Robert Whyte Orr and Pauline Whyte, the Women in Rural Asia (USA,Westview Press, Inc; 1982)

[12] The informant works in the office of local government in Kokop for most ten years and he is one of senior officer in this rural area. He used to deal with social problems within the society due to his duty as well as his responsibility for social welfare.

Read Full Post »

GENDER DAN SASTRA

Dalam dinamika perkembangan hidup manusia, sastra menjadi salah satu aspek dari kehidupan sosial budaya yang memberikan kontribusi tersendiri terhadap perjalanan hidup manusia. Hal tersebut dikarenakan oleh sastra sendiri memberikan gambaran, refleksi bahkan alternatif pola sikap dan pandangan bagi manusia terhadap segala sesuatu yang terjadi disekitar dimana ia tinggal dan berinteraksi sehingga seseorang memiliki pemikiran yang baru dan tidak terjebak pada suatu kondisi dimana ia membatasi diri dengan pemahaman yang sudah terkonstruksi oleh pengetahuan dan lingkungan sosial budayanya. Ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang berkembang (evolutif) dalam suatu sistem kehidupan yang berkembang pula dimana hala ini tidak bisa kita hindari dan sastra menjadi media refleksi dari ide-ide dari perkembangan itu sendiri dalam bentuk karya seni.

Sementara itu, bagi penghasil karya satra itu sendiri, kadangakala sastra menjadi media ekpresi atau pernyataan dari dunia batin dan jiwa pengarangnya terhadap apa yang terdapat disekitarnya karena sastra sendiri lahir dan berkembang dalam suatu masyrakat yang sangat heterogen dan plural. Dengan demikian, sastra memberikan warna (refleksi atau pemikiran) yang bervariasi terhadap suatu hal dalam masyarakat. Sastra dimunculkan oleh seseorang untuk “memaksa secara halus” orang lain melihat sisi lain dari suatu permasalahan yang sebagian besar masalah-masalah yang muncul dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, pembacaan terhadap suatu karya sastra tidak dilepaskan mutlak dari konteks masyarakat dan sejarah yang melingkupinya untuk mendapatkan pemahaman yang tidak bersifat parsial dari apa yang dimaksud atau diinginkan untuk disampaikan oleh karya sastra tersebut. Misalnya karya satra yang lahir dalam konteks masyarakat dimana isu-isu gender sedang berkembang, maka framework yang dipaka untuk membaca karya satra yang dihasilkan adalah analisa gender dimana kedudukan laki-laki dan perempuan dan representasi nilai-nilai gender menjadi objek kritik utama. Hasil kajian akan berupa pengujian komprehensif tentang alasan dan latar belakang perilaku sosial budaya baik yang netral maupun yang bias gender oleh penulis atau pembaca suatu karya sastra. Dengan demikian, paradigma sastra menjelaskan bahwa dalam pembacaan makna suatu karya sastra  merupakan hasil dari interpretasi dan pikiran kreatif penulis dan pembaca itu sendiri.  Sehingga, asumsi dan pandangan yang berlainan dalam membaca makna suatu karya sastra sangat mungkin berlainan satu sama lain.

Dari penjabaran sastra tersebut, maka pada dasarnya bukan suatu hal yang mudah untuk mendudukkan sastra dan gender secara bersamaan untuk mencapai pemahaman yang sama dalam konteks otonomi penulis dan pembaca dengan sistem nilai yang dibangun oleh masing-masing pihak tersebut . Akan tetapi, penggunaan framework gender dalam menghasilkan dan membaca makna suatu karya sastra merupakan suatu hal yang memperluas cakupan karya sastra dimana seseorang bisa melihat apa yang terjadi disekitarnya yang seringkali terabaikan apabila hal itu mengenai konstruksi sosial laki-laki dan perempuan dalam kerangka “isu-isu gender”. Motif-motif pemikiran tentang isu-isu gender dapat tersampaikan dibalik penyajian karya sastra atau bahkan gender bisa menjadi kerangka analisis dalam menilai suatu karya sastra. Hal ini tidak lepas dari alasan mendasar bahwa isu-isu gender sendiri merupakan permasalahan yang muncul dalam suatu acuan kehidupan sosial dari suatu masyarakat dimana karya sastra dihasilkan. Secara menyeluruh, bisa kita sarikan bahwa gender  merupakan suatu kerangka analisa dalam kajian sastra  yang dapat menunjang dihasilakankan pemahaman yang holistik terhadap karya sastra.

a. Sastra Dan Realitas Sosial Budaya

Sastra sebagai suatu disiplin ilmu masih diperdebatkan baik dari aspek definisi, jenis (aliran) maupun fungsi terutama ketika dikaitkan dengan disiplin ilmu lain seperti Sosiologi yang bahasannya mencakup isu-isu sosial dan budaya dari suatu masyarakat tertentu. Hal ini menjadi menarik ketika para akademisi maupun orang-orang yang terlibat dalam kajian sastra masih belum mencapai kata sepakat ketika mendefinisikan sastra itu sendiri dan pembahasan tersebut akan membawa pada pembahasan fungsi dari sastra itu sendiri. Akan tetapi, definisi yang diajukan oleh berbagai pihak seringkali dipengaruhi oleh perspektif yang menaunginya.Misalnya saja sastra dalam perspektif sosiologi yang diberikan oleh Levin[1] bahwa “sastra tidak hanya hasil dari efek sosial akan tetapi juga merupakan penyebab dari efek sosial tertentu”. Denga demikian, hal yang ingin ditekankan adalah pengaruh timbal balik dari teks dan konteks dalam karya sastra dari aspek sosialnya.

Dalam penelitian sastra yang menggunakan perspektif sosiologi, kondisi sosial tertentu yang melingkupi dimana suatu karya sastra dihasilkan menjadi kajian tersendiri untuk memahami karya sastra tersebut. Laurenson dan Swingewood menekankan tiga hal penting dalam sosiologi sastra jika kaitkan dengan penelitian sastra yaitu; pertama, karya sastra sebagai dokumen sosial yang merefleksikan situasi sosial ketika sastra diciptakan. Kedua, sastra merupakan refleksi sosial pengarang atau penulisnya. Ketiga, sastra merupakan manifestasi dari kondisi sosial budaya dan peristiwa sejarah.[2] Dari tiga hal diatas, nampak bahwa sastra bisa menjadi media refleksi dari suatu kondisi maupun realitas sosial budaya tertentu. Dengan demikian,sastra dapat dikatakan memiliki kekuatan sosial    untuk melihat nilai dan praktek budaya pada konteks zaman tertentu. Akan tetapi,seluruh penilaian tetap dikembalikan kepada masyarakat apakah suatu karya sastra memiliki fungsi sosial atau tidak.

Keberadaan pengarang sebagai penghasil dari sebuah karya sastra merujuk pada cara sesorang individu yang menjadi bagian dari komunitas sosial menginternalisasikan dan mensosialisasikan cara pandang hidupnya yang direfleksikan melalui teks. Terdapat upaya dialog antara teks yang ditulis oleh pengarang dengan konteks realitas keadaan masyarakat  dimana pengarang ingin menyampaikan suatu realitas yang ingin ditentang, dirubah,diolok-olok atau bahkan sekedar untuk digambarkan. Misalnya saja karya-karya sastra yang dihasilkan oleh parakelompok feminis yang mencoba menggambarkan  posisi subjek perempuan dalam tatanan budaya patriarkhi dan peran domestik perempuan yang jarang disuarakan. Dengan demikian, sastra merupakan crminan dari pikiran dan keinginan penulis melalui proses internalisasi nilai dan situasi sosial budaya dimana penulis menjadi bagian atau pengamat dari proses sejarah dan realitas sosial budaya tertentu.

b. Sastra Sebagai Refleksi Isu-Isu Gender Dalam Masyarakat

Sastra sebagaimana difahami secara umum (baik sastra tulis maupun lisan) sebagai suatu kesenian merupakan media representatif yang mampu menampung realitas dan imajinasi dalam suatu bentuk nyata yang dapat dinikmati tidak hanya bagi diri sendiri akan tetapi juga bagi orang lain. Banyak teori yang sudah dihasilkan berkaitan dengan fungsi sastra itu sendiri terutama ketika dikaitkan dengan imajinasi dari suatu struktur dan sistem sosial dari gambaran suatu masyarakat seperti yang sudah djelaskan sebelumnya. Misalnya saja ketika sastra menjadi refleksi sebuah potret dari struktur sosial dalam suatu masyarakat yang menggambarkan bagaimana  relasi antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ideologi dan sistem patriarkhi. Maka, pengkajian terhadap fungsi sastra menjadi sangat penting untuk memahami, merespon ide yang ada bahkan membangun suatu ide-ide baru yang kemudian dikonstruksi ulang dalam suatu masyarakat. Suatu strategi kultural dan struktural dari upaya refleksi diri masyarakat.

Salah satu fungsi sastra yang lain sebagai suatu kesenian adalah fungsi emansipatif ketika sastra dilihat dari sudut pandang para kelompok karya seni “autonomous art” dimana kelompok seni ini memiliki posisi yang berseberangan dengan kelompok seni “mass art”. Kelompok seni “mass art” sendiri dipandang sebagai karakteristik utama budaya masyarakat kontemporer. Dengan demikian, sastra dalam konteks tersebut membuka peluang bagi sastra dan produk sastra untuk membentuk pemahaman baru tentang suatu hal yang telah terkonstuk dalam sebuah masyarakat dan menjadi suatu yang melekat dalam diri masyarakat tersebut sebagaimana potensi sastra yang dikemukakan oleh Adorno dan diterjemahkan secara bebas oleh ignatius Krisna Dharma dalam tulisannya “Sastra dan Imajinasi Masyarakat” bahwa:

Sastra memiliki kepekaan, imajinasi, dan pengertian memberi suara, wajah dan definisi baru baru kepada apa yang diterima sebagai hal umum dan biasa…efek emansipatoris dari kesenian dihasilkan oleh penolakannya terhadap bentuk tata dunia yang dominan..[3]

Selanjutnya Dharma menjelaskan bahwa potensi emansipasi sastra tersebut dapat menyingkap sesuatu pada awalnya diterima sebagai suatu kebenaran dan mencairkan suatu kebekuan pemahaman akan sesuatu. Sehingga, kebekuan pemahaman masyarakat akan dirinya dapat terbuka. Melalui media sastra ini, masyarakat dapat mengevaluasi kembali apa yang dianggap benar dalam pemahaman mereka sebelumnya. Dengan kata lain, sastra mampu menjadi suatu kekuatan nilai kritik bagi masyarakat yang memberikan visi baru terhadap hal-hal yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Lebih jaun lagi , Siswanti[4] juga menegaskan fungsi lain sastra sebagai mediosphere yang dipakai untuk mengkomunikasikan ide-ide sehingga ide-ide tersebut bisa menjadi aksi yang efektif. Kedua fungsi dan peran sastra tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam peyingkapan suatu pemahaman yang bersifat statis dan dominan dan membantu proses penyebaran suatu nilai hasil dari evaluasi kritis pemahaman masyarakat sehingga bisa menjadi suatu sistem pemahaman dan keyakinan massif yang kemudian menjadi kesadaran bersama (communal awareness) masyarakat.

Ketika masyarakat memiliki suatu pemahaman tentang hirarki sosial terhadap jenis kelamin yang berbeda (laki-laki dan perempuan) dan telah terkonstruk dimana sistem patriarkhi yang menjadi nilai   yang diagungkan, maka sastra bisa menjadi media kritik dan evaluasi dari nilai dan sistem sosial tersebut. Misalnya saja produk dari karya sastra tulis yang diduga berperan dalam investasi terhadap terjadinya subordinasi peran dan fungsi perempuan yang kemudian semakin diperkuat oleh tradisi sastra lisan yang memberikan kontribusi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat  lokal terhadap perempuan. Contoh karya sastra yang bisa kita ambil dalam konteks pembahasan ini adalah bermunculannya karya-karya sastra tentang penggambaran sosok perempuan yang berbeda dari konstruksi pada umumnya dalam masyarakat yang ditulis baik oleh para penulis seiring dengan perkembangan sastra (terutama Indonesia) dan semakin diterimanya karya-karya sastra kontemporer.Karya-karya yang dihasilkan oleh Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari  adalah contoh dari penulis-penulis sastra yang mencoba mengevaluasi konstruksi pemikiran masayarakat terhadap perempuan yang sebagian besar dlam bentuk novel. Gambaran sosok perempuan yang jauh dari stereotipe yang selama ini melekat pada perempuan seperti atribut lemah lembut, tidak mandiri, oarang kedua setelah laki-laki dan individu yang tidak memiliki hak memilih dalam hidup. Karya-karya sastra mereka lebih pada pemberontakan yang bersifat revolusioner terhadap suatu konstruk sosial terhadap kekuasaan sistem patriarkhi yang terefleksikan dalam karya-karya sastra sebelumnya dimana norma-norma kelelaki-lakian yang berlaku sebagai korban dari bias gender yang mengakar dimasyarakat.

Karya sastra para penulis perempuan tersebut menjadi alat alternatif dari penyebaran ide-ide baru tentang masalah-masalah bias gender di masayarakat dan lebih jauh lagi mengenai ide-ide feminisme. Novel “Perempuan Dititik Nol” adalah salah satu contoh dari karya sastra yang mencoba meyuarakan ideologi feminisme dimana sang penulis (Nawal El Saadawi) mengkritisi nilai-nilai konvensional tentang relasi antara laki-laki dan perempuan juga mengoreksi tentang konsepsi feminin dan maskulin yang secara sosial budaya telah terkonstruk. Seksualitas perempuan sebagai sesuatu yang pada awalnya merupakan sesuatu yang tabu menjadi bahasan utama dalam novel tersebut. Seksualitas yang selama ini masih lekat menjadi atribut perempuan. Disinilah sastra menjadi respon terhadap pengalaman dan pengamatan mendalam dari penulis tentang nilai-nilai yang menghasilkan ketimpangan gender dalam masyarakatnya. Selain itu, karya sastra juga menjadi suatu gambaran dari masayarakat tertentu  serta konstruksi nilai yang terdapat didalamnya sehingga bisa menjadi evaluasi sosial politik terhadap ideologi gender dan sistem sosial yang berlaku.

Isu utama yang dibahas dalam novel “Perempuan di Titik Nol” adalah sistem sosial masyarakat yang menganut sistem patriarkhi sebagai tatananan sosial masyarakat. Suatu sistem yang dipakai untuk menempatkan peran dan posisi perempuan. Dalam kerangka Marxist, konsep patriarkhi mencoba menghubungkan relasi sosial dengan proses produksi, subordinasi dan ekploitasi terutama subordinasi terhadap perempuan dan kekuatan struktur sosial laki-laki dan perempuan. Sistem sosial ini menjelaskan tentang aturan sosial yang merujuk pada aturan pihak laki-laki (bapak) dan dominasi secara kultural.[5] Dengan demikian menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat perbedaan posisi struktural antara laki-laki dan perempuan dimana sistem produksi dan reproduksi menjadi acuan dasar konsep posisi struktural tersebut. Definisi lain dari sistem patriarkhi juga dikembangkan oleh Hartmann [6] bahwa sistem patriarkhi merupakan satu perangkat relasi sosial laki-laki dan perempuan yang bersifat hirarkhis dan berlandaskan pada kontrol laki-laki terhadap kekuatan buruh perempuan dan pembatasan pada seksualitas perempuan baik untuk kepentingan reproduksi perempuan maupun kepentingan yang memuaskan kebutuhan laki-laki. Dengan demikian, imajinasi dari gambaran suatu masyarakat yang muncul adalah konteks sosial masyarakat yang sarat dengan dikotomi laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan seks dan gender. Dengan kata lain,  perbedaan antara seks dan gedner menjadi sangat penting untuk menjelaskan sistem nilai dan struktur sosial yang berlaku.

Kembali pada karya sastra dalam suatu kondisi sosial tertentu, Novel karya Nawal El Saadawi diatas merupakan suatu refleksi pemaknaan seksualitas dan posisi perempuan dalam kaitannya dengan kekuasaan posisi sosial laki-laki. Nawal dalam novelnya memunculkan penokohan dengan karakter pemberontak terhadap apa yang sudah diyakini masyarakat tentang “kebebasan” dan “hak” dari jenis kelamin perempuan dalam perspektif gender dimana Firdaus (tokoh utama) mencoba merekonstruksi kekuasaan tubuh perempuan yang berbeda dengan norma masyarakat dan nilai kesucian agama dalam suatu titik pembahasan mengenai privilege laki-laki dalam konteks pelacuran dan pernikahan. Selama ini, menurut Saadawi, seksualitas dalam norma masayarakat yang berlaku adalah privilege bagi laki-laki dalam konteks poligami. Selain itu, konsep kekuasaan dan dominasi laki-laki dalam ranah domestik juga terpancar dalam lembaga perkawinan seperti yang terdapat dalam paragrap yang dikutip dari novel tersebut sebagai berikut:[7]

” Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan kepada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah telah tertipu, menindas mereka ketingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan”

“Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan” (h.126)

Apa yang berusaha disajikan dalam paragrap tersebut adalah kritik tajam terhadap berbagai aspek kehidupan sosial (publik) dalam perspektif patriarhkal yang masuk kedalam ranah domestik dan personal bahkan merambah ke ranah penafsiran teks-teks agama dalam masayrakat yang mengagungkan nilai-nilai maskulinitas. Disinilah penulis menunjukkan kebebasan berpikirnya dalam melihat dan merasakan pengalaman dunianya yang kemudian sastra menjustifikasi pemikiran penulis juga menjadi mediasi bagi sosialisasi pemikiran tersebut.

Penulis lain yang mencoba melakukan resistensi terhadap isu-isu stereotype terhadap perempuan adalah penulis Ayu Utami dimana dalam novel-novelnya ia banyak mengkritik posisi perempuan dalam masayrakat yang seringkali dijadikan objek laki-laki dalam segala aspek terutama seksual. Ia banyak menggambarkan sosok perempuan yang tidak lagi lemah seperti yang sudah dikonstruksikan oleh masyrakat selama ini,akan tetapi dalam pandangan Ayu Utami bahwa perempuan juga harus ditempatkan sebagai subjek karena mereka bisa menjadi mandiri sebagaimana laki-laki. Apa yang dilakukan oleh penulis novel ini adalah suatu upaya pembogkaran terhadap norma sosial  yang bersifat status-quo terhadap stereotype hubungan laki-laki dan perempuan dan bagaimana seharusnya hal itu dirubah dan diberlakukan sebagaimana mestinya dimana laki-laki dan perempuan tidak diperlakukan secara berbeda dalam sistem sosial yang berlaku.

Karya sastra dalam bentuk tradisi lisan pun kadangkala menjadi alat untuk menggambarkan bagaimana sesuatu dalam masyarakat termasuk nilai maupun norma yang dijunjung oleh suatu masyarakat. Tradisi Lisan masyarakat Bali, misalnya, membuka ruang bagi interpretasi terhadap yang akan mempengaruhi tidak hanya pada pengisahan dalam seni akan tetapi juga terhadap keyakinan dan pemahaman orang –orang yang terlibat didalamnya. Dongeng, mitologi dan cerita dalam tradisi lisan sangat dipengaruhi oleh penutur yang membawa “kepentingan” masing-masing (motif-motifideologis). Sehingga, karya yang dihasilkan dapat menjadi karya sastra yang menguntungkan ketika suatu pesan dari penutur dengan latar belakang pemikirannya yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas. Dalam wilayah seni ini, proses kreatifitas penutur dituntut. Dalam masyarakat Bali, mitologi calon Arang memiliki beberapa versi dalam tradisi lisan. Disini berbagai versi yang sarat kepentingan masuk dlam penokohan dan penggamabaran sosok serta cerita dari Calon Arang. Akan tetapi, perbedaan versi Calon Arang tidak lepas dari pertanggungjawaban sang penutur dimana keterbukaan pemikiran juga didialogkan dengan orang yang menikmati karya  tersebut. Artinya, dalam karya sastra, nilai-nilai sosial yang berlaku tidak lepas begitu saja ketika sastra dijadikan sebagai media alternatif untuk penyebaran ide maupun ideologi tertentu.

Meskipun ada beberapa teori yang menjelaskan fungsi sastra dan ada beberapa upaya yang menghubungkan karya sastra dengan hal-hal diluar karya itu sendiri, akan tetapi disiplin ilmu yang membahas tentang kritik sastra merumuskan tiga hal penting yang patut diperhatikan sebagai  berikut:[8]

  1. Karya sastra harus memiliki signifikansi yang dapat menembus ruang dan waktu (spaceless dan timeless). Artinya, karya tersebut tidak terbatas untuk waktu tertentu saja dan materi yang ditulis merupakan hal-hal yang bersifat tetap berkaitan dengan sifat-sifat manusia
  2. Dengan posisi sastra yang bersifat menembus ruang dan waktu, maka karya  tersebut dipandang memiliki makna tersendiri dan tidak perlu dikaitkan dengan konteks apapun, baik konteks sosial politik, sejarah sastra maupun biografi pengarangnya.Oleh karena itu, pembacan sastra hanya membutuhkan analisa bahasa. Unsur-unsur diluar bahasa menjadi tidak penting lagi dalam hal ini.
  3. Pembacaan sastra yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan adanya perumusan beberapa aspek lain dari pembahasan sastra tersebut, terdapat paradoksal dalam pemaknaan karya sastra sendiri serta fungsi dari karya sastra. Akan tetapi terlepas dari dua kutub yang saling berkontribusi dalam wilayah kesenian yang berbentuk karya sastra, harus diakui bahwa konteks diluar sastra juga berperan dalam perubahan bentuk dalam materi dari suatu karya sastra serta bentuk-bentuk karya sastra itu sendiri. Terbukti ketika suatu kondisi sosial dan ideologi tertentu ada dalam masayarakat (sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya), para seniman karya sastra mencoba merespon dan merefleksikan ide-ide mereka melalui sastra itu sendiri.Dengan demikian, jika dikaitkan dengan isu-siu gender, sastra dapat menjadi cerminan dan refleksi dari isu-isu gender yang muncul dalam masayarakat dan menjadi media koreksi dan evaluasi baik untuk merombak pemahaman yang ada maupun semakin memperkuat pemahaman tentang gender itu sendiri yang mempertimbangkan konteks sosio-kultural dimana karya sastra tersebut dihasilkan. Yang harus digarisbawahi dari seluruh paparan ini adalah bahwa makna  karya sastra merupakan suatu hasil dari interpretasi yang dikonstruk baik oleh penulis maupun pembaca dengan latar belakang (ideologi, politik dan sosial budaya) yang dibawa oleh masing-masing pihak.



[1]Suwardi Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra (Penerbit Pustaka Widyatama; Yogyakarta; 2004,h.81) mengutip pemikiran Levin yang diambil dalam buku yang ditulis oleh  Elizabet dan Tom Burns yang berjudul Sociology of Literature and Drama ( Penguin Books;Australia; 1973)h.31.

[2] ibid

[3] Ignatius Krishna Dharma, Sastra Imajinasi Masyarakat dalam Sastra Interdisipliner, Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial (Yogyakarta. Penerbit Qalam; 2003) h.68-69

[4]Endriani Dwi Siswanti, “Perempuan di Titik Nol’ Perlawanan perempuan melawan tatanan konservatif , Jurnal Perempuan (edisi 30) (Jakarta. YJP; 2003) h.25

[5] Mitchell (1974), Millet (1971), Rich (1977) dalam Taula Gordon, Feminist Mother (New York. New York University Press; 1990) h. 9

4.Ibid,  Heidi  Hartman membahas konsep system patriarkhi dalam kerangka Marxist dalam the Unhappy Marriage of Marxism and Feminism’, in Capital and Class, no.8, Summer (1979) dan The  Unhappy Marriage of Marxism and Feminism : A Debate on Class and Patriarchy (1981).

[7] Nawal El Saadawi, Perempuan Dititik Nol (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia; 2002)

[8] Muh Arif Rokhman, Cultural Materialism Dalam Kajian Sastra dalam Sastra Interdisipliner, Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial (Yogyakarta. Penerbit Qalam; 2003)h.29

Read Full Post »