Feeds:
Posts
Comments

Archive for November, 2010


Keberhasilan pembangunan dan keberhasilan dalam menjalani proses historis kehidupan dalam semua tingkatan akan sangat tergantung pada peran serta laki-laki dan perempuan secara bersamaan sebagai pelaku dan pemanfaatnya. Ketidakseimbangan serta peminggiran terhadap peran serta dari salah satu elemen tersebut bisa berakibat pada ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, semua program pemberdayaan harus memperhatikan dan diorientasikan pada pencapaian dan optimalisasi peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.

Kenyataan dilapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun sudah diupayakan dengan berbagai strategi dan pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai  karena pendekatan pembangunan yang dikembangkan belum mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidak adilan gender  yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender. Indikator yang dipakai untuk melihat dan mengukur kesenjangan tersebut digunakan Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Fakta ketidakadilan gender dalam masyarakat Indonesia diperkuat dengan adanya Human Development report tahun 2002 yang menunjukkan GDI Indonesia masih menempati urutan 91 dari 173 negara dan HDI Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 173 negara.Oleh karena itulah berbagai strategi yang dapat meningkatkan pemberdayaan perempuan terus dikembangkan seperti strategi terakhir yaitu strategi pengarusutamaan gender ( Gender Mainstreaming).

Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program, proses dan proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan tindakan yang memprioritaskan kesamaan gender berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2000 yaitu Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing .[1] Pelaksanaan dan implementasi PUG juga didukung oleh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 mengenai segala bentuk diskriminasi

Strategi pemberdayaan ini dirancang sebagai strategi alternatif untuk melengkapi dua strategi terdahulu, Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD), dan dideklarasikan semenjak tahun 1995 pada Forth World Conference on Women di Beijing.[2] WID sebagai strategi pertama popular pada 1975-1985 ketika tahun-tahun itu dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”.[3] Sejak saat itu, hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan Wanita, dengan fokus utama meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Strategi peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu analisis yang lebih memfokuskan pada kaum perempuannya. Strategi ini dibangun di atas asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan. Analisis ini mengharuskan adanya usaha untuk menghilangkan diskriminasi yang menghalangi usaha mendidik kaum perempuan.

Akan tetapi, strategi WID banyak mendapat kritik terutama dari kelompok feminis dengan menekankan tiga asumsi dasarl, yaitu:

1.                            strategi ini diasumsikan sebagai agenda dari dunia pertama terhadap dunia ketiga

2.                            diasumsikan strategi ini memiliki bias kepentingan dari kelompok feminisme liberal yang diwakili oleh perempuan kulit putih yang dipandang tidak memiliki kepentingan dengan pembebasan para perempuan didunia ketiga

3.                            diasumsikan bahwa strategi ini lebih mengarah pada pengekangan terhadap para perempuan dan bukan merupakan upaya pembebasan.

Kritik lain yang dilancarkan untuk strattegi pemberdayaan ini adalah strategi ini lebih menekankan atau focus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan dan relasi social antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan.[4]

Strategi kedua muncul dengan lebih memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi, dan budaya hidup masyarakat yang melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dikenal dengan ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak persoalannya bukanlah pada kaum perempuan sebagaimana diasumsikan semula, akan tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Strategi kedua ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur gender inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi WAD (Women and Development) setelah tidak berhasilnya strategi WID. Berbeda dengan WID yang melahirkan proyek-proyek peningkatan peran perempuan seperti proyek peningkatan penghasilan perempuan dan didirikannya kementerian peranan wanita, maka puncak keberhasilan strategi kedua ini menghasilkan kebijakan global yang monumental bagi perjuangan kaum perempuan ini, yakni dengan diterimanya secara global konvensi anti segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elemination of all Form of Discrimination Againts Women) tersebut.

Selanjutnya dalam konferensi Nairobi tahun 1985 dibicarakan kemungkinan memasukkan perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan pembangunan serta diperkuat konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya platform action strategi gender mainstreaming. Dalam konferensi tersebut dibicarakan upaya mengurangi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD yang tujuan dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam pembangunan. Sasaran utama kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi (masyarakat), institusi (organisasi dan masyarakat).

Untuk melihat apakah strategi gender mainstreaming sudah diterapkan atau tidak, gender scan adalah salah satu instrumen yang dapat dipakai sebagai langkah strategis.Akses dan kontrol terhadap SDM dalam organisasi, sensitifitas gender dalam pengembangan perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategis gender (gender need), kesamaan gender di organisasi dan pembagian kerja berdasarkan gender merupakan perangkat yang terdapat dalam gender scan. Selain itu,untuk menyusun program dan membuat kebijakan yang responsif gender harus berdasarkan data dan informasi yang akurat yang diperoleh dari proses pengolahan dan analisa tepat. Proses analisa data tersebut dikenal dengan istilah analisis gender. Ada lima jemis model analisis gender yang dikenal  di Indonesia, yaitu:

  1. Model Harvard

Suatu kerangka analisis gender yang paling awal dikembangkan dimana pendekatannya berdasarkan efisiensi WID untuk melihat profil gender secara mikro dan peran gender dalam proyek pembangunan serta dalam perencanaan berbagai program kegiatan.  Kerangka analisis ini  dikenal dengan kerangka analisis Harvard. Dikembangkan pada mulanya oleh Harvard Institute For International Development yang bekerjasama dengan kantor Women In Development (WID) USAID. Perspektif yang digunakan model Harvard ini lebih tepat digunakan untuk perencanaan proyek yang lebih bersifat  ekonomis dan lebih tepat untuk perencanaan proyek daripada kebijakan karena model ini bisa menunjukkan bagian-bagian proyek yang perlu disesuaikan dengan tujuan proyek. Analisis model Harvard ini meninjau dari 4 (empat) komponen dasar antara lain:

  1. Profil kegiatan, yang dianalisa dan diidentifikasi dalam profil ini beberapa parameter seperti umur (misalnya, siapa mengerjakan apa sehingga pola relasi gender dan dampak yang ditimbulkan dapat teridentifikasi melalui pemetaan pekerjaan berdasarkan umur dan jenis kelamin), alokasi waktu (menunjukkan apakah kegiatan dilakukan pada waktu tertentu seperti harian atau waktu-waktu tertentu saja), lokasi kegiatan (menunjukkan dimana kegiatan dilakukan) dan pendapatan (menunjukkan uang atau pendapatan yang dihasilkan dari suatu kegiatan)
  2. Profil akses dan kontrol, dalam profil ini yang dianalisa adalah sumber-sumber yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melakukan suatu kegiatan serta manfaat yang didapat oleh masing-masing dari hasil kegiatan.
  3. Analisis faktor, dalam profil ini yang dilihat adalah faktor-faktor dasar yang memepengaruhi dua poin diatas termasuk faktor yang menentukan pembagian kerja berdasarkan gender.
  4. Analisis siklus proyek, penelaahan proyek berdasarkan data  yang diperoleh dari analisis terdahulu dengan melihat kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana yang bisa dipengaruhi oleh  proyek yang akan dilaksanakan.
  1. Model Moser

Model analisa ini lebih mengasumsikan bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan politis sehingga dalam proses perencanaan dan dan transformasi terdapat konflik. Ada 6 (enam) alat yang digunakan dalam perencanaan semua tingkatan dar perencanaan proyek dari level pusat sampai level daerah, antara lain:

  1. Identifikasi peranan gender /Tri Peran (alat 1) yang mencakup penyusunan pembagian kerja gender dalam rumah tangga selama 24 jam.
  2. Penilaian kebutuhan gender (alat 2). Alat kedua ini memetakan kebutuhan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang berbeda berdasarkan minat yang bersifat praktis dan strategis.
  3. Pemisahan kontrol atas sumberdaya dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga (alat 3). Alat ini menganalisa dan menunjukkan siapa yang mengontrol sumberdaya dalam rumah tangga termasuk siapa yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam penggunaan sumberdaya keluarga dan bagaimana proses keputusan tersebut dibuat.
  4. Penyeimbangan peran (alat 4). Alat ini menganalisa peran perempuan dalam mengelola keseimbangan antara tugas-tugas produktif, reproduktif dan publik (sosial kemasyarakatan).
  5. Matriks kebijakan WID (Women in Development) dan GAD (Gender and Development). Kedua matriks tersebut memberikan kerangka untuk mengidentifikasi atau mengevaluasi pendekatan yang digunakan yang ditujukan pada tri peranan seperti disebeutkan diatas termasuk kebutuhan gender yang bersifat praktis dan strategis dalam proyek. Matriks ini dibedakan lagi kedalam lima pendekatan, yaitu: pertama, kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan ini bertujuan untuk mengakui peran reproduktif perempuan dengan pemenuhan kebutuhan praktis gender perempuan selain membawa perempuan kedalam pembanguanan sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki kemampuan yang lebih baik. Kedua, Matriks keadilan. Pendekatan matriks ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi perempuan dengan menempatkan mereka sebagai partisipan aktif dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan strategis gender serta pengakuan tri peranan perempuan. Dalam hal ini pemerintah melakukan intervensi langsung dengan pemberian otonomi politik dan ekonomi serta pengurangan ketidaksetaraan perempuan dengan laki-laki. Dengan kata lain, pendekatan ini menolak adanya subordinasi perempuan. Ketiga, anti kemiskinan.  Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas perempuan miskin. Akan tetapi pendekatan ini tidak melihat kemiskinan perempuan sebagai dampak dari  subordinasi akan tetapi hanya sebagai masalah keterbelakangan. Keempat, efisiensi. Pendekatan ini merupakan pendekatan utama dalam analisa model Moser. Dalam pendekatan ini yang menjadi titik tekan adalah kontribusi ekonomi perempuan dalam kerangka pembangunan yang efisien dan efektif karena partisipasi disini dianggap sama dengan keadilan. Pendekatan ini berusaha memnuhi kebutuhan praktis gender dengan mengandalkan tri peranan dan konsep waktu yang dimiliki perempuan yang elastis dan fleksibel. Kelima, pemberdayaan. Pendekatan ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan melalui kepercayaan diri perempuan yang lebih besar. Pendekatan ini melihat bahwa subordinasi perempuan dinilai tidak hanya karena dominasi laki-laki tetapi juga karena penindasan  kolonial dan neo-kolonial. Pendekatan ini juga mengakui tri peranan perempuan dan ada upaya pemebuhan kebutuhan praktis gender akan tetapi secara tidak langsung melalui  mobilisasi kebutuhan praktis gender dari bawah. Pendekatan ini lebih dikenal di kalangan LSM di negara ke-tiga.
  6. Pelibatan perempuan dan organisasi perempuan sadar gender dalam perencanaan pembangunan (alat 6). Alat keenam ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan-kebutuhan nyata perempuan, artinya berlawanan dengan pengertian atas kebutuhan-kebutuhan yang digabungkan kedalam proses perencanaan yang selama ini dikenal.
  1. Model SWOT

Model analisa gender ini  merupakan suatu analisa manajemen melalui identifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan tantangan. Kedua aspek (eksternal dan internal) dipertimbangkan dalam kaitannya dengan konsep strategis dalam penyusunan program aksi, langkah-langkah atau kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang disamping meminimalkan kelemahan dan tantangan sehingga mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program/kegiatan. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam analisa model ini, antara lain sebagai berikut:

  1. Langkah 1 adalah proses identifikasi kekuatan dan kelemahan dari masalah-masalah internal kondisi yang ada saat itu serta pemberian bobot  pada kondisi yang diinginkan.
  2. Langkah 2 adalah proses identifikasi peluang ancaman dan tantangan dari masalah-masalah eksternal dengan pemberian bobot pada kondisi yang dinginkan dan keadaan yang ada pada saat itu.
  3. Langkah 3 adalah proses analisa korelasi kunci internal dan eksternal dengan pemberian kuadran –kuadran sebagai berikut:
  • Kuadran I dengan menciptakan strategi “agresif” yang mengembangkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada.
  • Kuadran II dengan menciptakan strategi “diversifikasi” yang mengembangkan dan menggunakan kekuatan atau potensi untuk meminimalisasi atau mengatasi ancaman atau tantangan.
  • Kuadran III dengan menciptakan strategi yang bertujuan untuk meminimalisasi kelemahan-kelemahan dan memanfaatkan peluang salah satu caranya dengan meninjau ulang kegiatan-kegiatan
  1. langkah 4 adalah menyusun rencana aksi  yang meliputi kegiatan yang responsif gender melalui cara sebagai berikut:
    • Menyusun tindakan berdasarkan konsep yang bernilai strategis
    • Tindakan yang disusun diurutkan dari awal sampai akhir
    • Menetapkan tujuan atau sasaran dari setiap langkah dan kegiatan.
    • Menentukan penanggung jawab dari setiap tindakan atau langkah yang diambil
    • Menetapkan waktu dari setiap langkah atau tindakan
    • Menetapkan pelaksanaan dari setiap kegiatan
    • Menetapkan tiga indikator penilaian
  2. Langkah 5 adalah penjadwalan atau penyusunan sketsa yang mennujukkan rangkaian kegiataan khusus dari aspek pelaksanaan dan rencana kegiatan.
  1. Model analisa GAP (gender analysis pathway)

Model atau kerangka analisa gender GAP merupakan suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan dari kegiatan pengarusutamaan gender melalui perencanaan kebijakan/program/proyek dari kegiatan pembangunan. Model analisis ini menekankan pada empat aspek penting yang meliputi aspek, peran, kontrol dan manfaat.

Model ini memiliki kekuatan untuk menghasilkan program atau kegiatan yang responsif gender  dengan metodologi yang sederhana dan penggunaan data kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan serta adanya peluang untuk memonitor dan mengevaluasi setiap langkah. Sedangkan kelemahan model ini adalah adanya ketergantungan pada data terpilah menurut jenis kelamin, dan biasanya hanya digunakan pada kebijakan atau proyek formal yang biasanya didanai oleh pemerintah dan dibatasi pada aspek perencanaannya.

Model analisa ini memiliki alur kerja analisis gender yang meliputi lima tahap sebagai berikut:

  1. Tahap I : analisa kebijakan yang responsif gender
  2. Tahap II:formulasi kebijakan yang responsif gender
  3. Tahap III: Rencana aksi yang responsif gender
  4. Tahap IV: pelaksanaan kegiatan yang sudah disusun
  5. Tahap V : monitoring dan evaluasi dari  setiap tahap dan langkah yang diambil.

e. Model PROBA (problem based approach)

Model analisa gender ini adalah suatu teknik untuk menganalisa kesenjangan gender (gender gap). Dengan demikian analisa gender dimulai dengan melihat kesenjangan gender yang selanjutnya dibentuk  GFP (gender focal point) dan POKJA PUG dalam tataran pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender. Model analisa ini juga dilengkapi dengan indikator-indikator seperti input, output, outcome dan proses.

Model Proba terdiri dari 5 tahap yang secara keseluruhan meliputi 12 langkah(hanya tahap-tahap yang akan disebutkan dalam makalah ini) sebagai berikut:

  1. Tahap I merupakan tahap analisa gender yang bertujuan untuk merumuskan masalah gender yang terjadi disetiap instansi atau wilayah.
  2. Tahap II merupakan tahap analisa kebijakan dari kegiatan atau proyek serta kebijakan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender melalui proses identifikasi, klarifikasi dan penetapan tujuan strategis untuk mewujudkan kondisi yang netral gender.
  3. Tahap III merupakan tahap formulasi kebijakan baru yaitu dengan cara mereformulasi kegiatan/proyek/kebijakan yang bias gender menjadi responsif gender
  4. Tahap IV merupakan tahap penyusunan rencana aksi atau menyusun kegiatan yang akan dilakasanakan.
  5. Tahap V merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk matrik monitoring program dengan menetapkan indikator kerja, membentuk focal point dan pokja PUG sekaligus menyusun mekanisme operasional.
  6. Tahap VI merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk matrik monitoring program sekaligus menetapkan indikator kinerja.

Kelima model analisis gender yang telah dipaparkan diatas digunakan untuk menela’ah berbagai kegiatan/proyek/kebijakan yang menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kerjasama antara perencana kebijakan, organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan gender dan terutama antar perempuan akan membantu percepatan dari perwujudan kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa relasi sosial antara laki-laki juga penting dalam menyusun semua kebijakan. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan dalam pembangunan menjadi penting karena pengalaman telah menunjukkan bahwa pembangunan yang bersifat dikotomis dengan lebih menekankan pada salah satu jenis kelamin kurang menunjukkan hasil yang signifikan.

.

Sumber bacaan

Kementrian Negara pemberdayaan Perempuan, Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bagi Fasilitator kategori Pengembangan, Jakarta: Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006

Mansour, Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Muawanah, Elfi dan Rifa Hidayah, Menuju Kesetaraan Gender, Malang: Kutub Minar, 2006

Tim Penulis PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN SYAHID, 2003

Tim Peneliti PSG UIN Malang, Baseline Study dan Analisis institusional Kesetaraan Gender Di UIN Malang, Malang: Lemlit UIN Malang, 2006


[1] European Women and Sport, 2002. A New Strategy : Gender Mainstreaming, Paper presented by Teresa Rees at the 5th European Women and Sport Conference in Berlin, April 18th-21st 2002 Hotel Crowne Plaza, Berlin

[2] Mansour Fakih, “Gender Mainstreaming Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan” dalam Gender dan Perubahan Organisasi, Menjembatani Kesenjangan Antara Kebijakan dan Praktek, Terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: INSIST, 1999), h. xxxiii

[3] Ratna Saptari & Brigitte Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 154

4. Junaidatul Munawwarah dalam “Pengantar Kajian Gender” ( PSW UIN Syarif Hidayatullah dengan DEPAG RI-CIDA, Jakarta: 2003) h. 181-182

Read Full Post »

 

 

 

 

Introduction

The compatibility of Islam with democracy lies on the puzzle of political theories over decades. Islam as a religious doctrine is questioned whether it can promote democracy values or not since the historical facts shows less evidences for its success to go along with democracy as a sort of political and governmental system. The core problem of the puzzle and debate is related with people’s understanding on Islam itself as well as its adherents’.  Conversely, this religion pronounces its compatible value of the doctrines with certain places and certain times. Consequently, it can compromise with any kinds of facts or systems as long as they are in line with its basic values namely promoting human rights and give happiness to human beings.

……………………Abu el fadl

Another interesting discussion on Islam is that it emerges differently in different places with different features of Islam. The question, then, could Indonesian Islam promotes democracy including its values to be implemented in this country since the majority of the citizens are Moslems? Therefore, this paper addresses the issue on Islam in Indonesian context in relation with democratization process. The main purpose is to investigate Robert W. Hefner’s examination on the relationship of Islam and  democratization in Indonesia that he tends to counter some political theories’ about democracy including westerners’ doubt of the emergence of democracy in majority-Moslem nation or in Moslem world.[1]

Hefner comes with his deep discussion in his book “civil Islam” in portraying the role of Islam as well as the role of intellectual Moslem to promote democratization process. To borrow his phrase notion ” democratization in an age of religious revitalization”, he emphasizes the belief on the compatibility of Islam with this kind of political system, democracy which is commonly believed as product of modernization and secularization in western countries. As his point of departure is that he theorizes Muslim politics, to restate his statement, which is not monolithic but plural.[2] In addition, this anthropologist pointed out the precedent of civic seedling in Indonesia, which reveals the fact of the diversity of Indonesian Moslems’ ideas how to be a Muslim, and he “pronounces” this phenomenon as cultural pluralism.[3] He theorized, also, that democracy can develop in Indonesia. The reason why democracy is hard to exist in this country is that the civil state, as another component of democracy, did not exist during certain periods of Indonesian political life. From this standpoint he, then, points out the intellectual Moslems whose democrat views that tends to have liberal spirit in understanding their Islam and performing their civil concept. To Hefner, those Moslem democrats are civil democratic who play crucial role in democratization process. However, the process of democratization process faces their obstacle to be really achieved by Indonesia is due to the lack of another basic factor of democracy namely civil state as aforementioned earlier. He discusses the issue of the state and political regime in Indonesia periodically from the early new order until the fall of Soeharto’s regime.

Another example of the less existence of ………………..

Banten case is that local government supported by the Dutch monopolized the economy and restructured the political system in form of modernization. That action repressed the people (especially peasant group) economically and politically. What is more, most of them were tarekat followers. With the support from the Sufis, as their religious leaders that they believed and respected much, including the ideology they hold that the Dutch were infidels, they moved to revolt in 1888. Although it just lasted only five days, it explained that ideology will lead a group to act as well as showing that Sufis concern moved to political arena.

In general, some cases related to some tarekats in politics reveal a significant transition of Sufism and tarekats role and their initial concerns. However, it is not to say that they change their original orientation. It is just a case of the need of condition to broaden the basic aims. This also copes with my hypothesis that Sufis play different role in each time in accord with my first basic inquiries on this matter explaining why they change their original orientation in certain time. Another thing left is the power of Sufis and tarekat leaders in mobilizing people or their followers should be also considered.  I am not saying that, the followers fully obeyed their tarekat leaders but the teachings that they taught gradually became an ideology supported by the charismatic figure of the leaders. In addition, the alliance that they can work together was the Sufis group in opposing the regime in which most of the followers were mass-based such as workers and peasants. In fact, their total number was larger than government members or as equal as the colonial’s.

Basically, Hefner’s work of his book “civil Islam” is much debated in various angles to see whether his argument on Islam and democracy can be put into account as an interesting evidence of Moslem world in term of its political system. To me, his thesis of Islam Indonesia can be enriched by also putting the feature of Islam in Indonesia in the discussion framework that will be related to grass root phenomena in relation with democracy. Those two main themes will be discussed further in this paper. However, it is important to emphasize earlier that the culture seedling of Indonesia and the unique feature of Islam in this Moslem- majority nation play role in promoting democracy besides the Moslem democrats’ role. Therefore, to overview the feature of Islam in Indonesia including Indonesian original culture should not be overlooked as “left hole” to be discussed.

 

Islam in Indonesia

It is interesting to discuss Islam in Indonesia, as there were so many religions and beliefs such as Hindu, Buddhist and other mystical beliefs already existed long before Islam came. Those systems of beliefs had a greater role in forming social economic as well as political structure in Indonesia.[4] Islam found the reality of diversity of system and socio-cultural tradition in Indonesia. What is more, people in different tribes hold different spiritual beliefs supporting by their geographical location of living. As a consequence, Islam had to pass trough a long process to islamized Indonesia. Then, the face of Islam tended to be inclusive in islamization process, which could compromise with local tradition to avoid the resistance of that tradition. This sort of religion came with its domestication process. What domestication means here is that Islam tried to accommodate local culture. Nonetheless, it is not to say that Islam did not generate conflict as the fact also shows that there was a contradiction between Islam as a great tradition and Islam as little tradition (Islam local). Still, the domestication of Islam resulted in the more acceptable feature of Islam for local people with their original culture.

Then, the spreading process of Islam in Indonesia shows some important points. First, the assimilation and acculturation process of Islam with original culture constitutes an identity for Islam Indonesia as a new comer religion. That “identity” was inspired  mostly by local value of “tolerance” and creates a “ new configuration” between middle east religion and a local religion with its local culture without abandoning the original (sacred) message of Islam. Second, Islam is not a dominant religion in whole Indonesian parts although it has majority of adherents. Islam still left some areas for other religions to developed. Some areas such as Manado which becomes Christian consentration as well as Bali for Hindust, and so forth. This phenomena reveals a fact of “harmony’ with tolerance as the base.[5]

Despite the success of Islam in accomodating local culture, it also has another consequence of interpretation of its doctrine. To point out Clifford Geertz’s thesis about the three variants of moslem Indonesia (priyayi, santri, abangan), he  draws into the conclusion that there is different conversion way of into Islam in Indonesia.  Inspiried by Weber’s thought, he tried to look at the relationship between religion and social action. He proposes a “layer cake” theory to describe  phenomena above. It is to say that the feature of Islam Indonesia just changes some terms but Indonesian Islam is, basically, still the original culture.

Although Gertz’s thesis above is already debated by some scholars, it is still important to look how in general Indonesian Islam. It leads to a “rough” assumption on the possibility of various forms of Moslems’ attitude toward Indonesia including its political sphere. It is not to say, however,that Islam Indonesia is less pious than in other moslem worlds. It just another phenomena of Islam’s  message that is compatible with different conditions in any time. Therefore, it is important to keep in mind that, in line with Hefner’s view, Islam may not an obstacle for democracy to grow particularly Islam Indonesia.

From that standpoint, we have to consider another consequence of this Islam above. The conflict within moslems groups emerge in responding political form of Indonesia. As a matter of fact , There is an attempt proposed by certain groups which to purify Islam to search the authenticity of Islam along with the emergence of Islamic radical movement. This movement aims to integrate the diversity of Islam’s understanding  into one frame. The main goal is to put Islam in the same level of one social system. This movement, to me, commonly represent some group of moslems from grass root level. The movements shows their radicalism. The orientation is to implement the fundamentalist islamic doctrines. Take for example, Ikhwanul Muslimin movement, Hizbut Tahrir, Jama’ati Islami and the alike. The basic foundations of their movement are Al-Qur’an and Hadist that are interpreted literally. Some of the leaders are commonly coming from pesantren leaders and not political figures. Nevertheless,  recent fact shows the contradiction feature of those movement. The case of new paradigm of Ikhwanul Muslimin movement, in my view, supports hefner’s study about democracy in Indonesia. The main reason of democracy problem is the civil state in Indonesian context. The recent leader of Ikhwanul Muslimin, Sayyid Hussein Al-Habsy, stated that uncivil political regime from new order era up to present tend to be dicrimininative toward Islam communities. He raised a real proof of RMS case and Jama’ah Islamiyah case. The regime discriminates Jama’ah Islamiyah and put its case as the object of interest. By contrast, the  regime tended to be “softener” toward RMS. The leader of this movement is easy to escape from the case and from Indonesia. This discrimination, according to Sayyid Al-Habsyi, triggers the discriminated group to build a social movement. He also mentions that It is not Islamic group which wants to oppose the government and the existed political system but the regime “creates” it.[6] That fact of grass root movements tends to be overlooked by Hefner to support his finding on Islam and democracy.

In addition, historical evidence that “ islamic purification movement” in the late 18s was mostly related to the concern of moslems condition. Ahmad Syafi’I Ma’ ar if   in his book “Islam dan Masalah Kenegaraan” raises an interesting evidence of one Islamic movement that is Muhammadiyah organization. Motored by Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868- 1923), this organization struggled for reform and revival of education system in Islam. Ma’arif, also, adds the internal factors of the Muhammadiyah emergence. First, the low level of moslem’s education in Indonesia in all aspects of life. Then, Serious condition of moslem indonesians who commonly live in poverty condition but in rich country. Lasty, The old-fashioned  system of Islamic education as represented by pesantren education system.[7]

Furthermore, the conflict and debate between the concept of nation and political system of Indonesia is dominated by intellectuals and those who will take the benefit from it.

What should be emphasized in this part of discussion is that the diversity of understanding Islam and the feature of Islam itself open a great chance to any political systems as long as they promote social welfare and human rights.

 

Grass root phenomena

It is noteworthy, also, to consider the phenomena within certain societies in the grass root level in terms of their value and culture. To paraphrase Herbert Feith’s statement in Blackwell Encyclopedia of Political Institutions, Indonesia still in the process of searching and forming its political culture in which the process is influenced by sub-culture of of politics and religion.[8] Feith, then, adds his assumption that dominant culture is “Javanese aristocracy” and “entrepreneurship”. The explanation of that argument is the high number of politics elites in national level are Javanese as well as the cetral location of govermental system is in Java island.

The most crucial factor, in cultural level, is the internal attitude of Javanese people which is rooted in their personality. They tend to avoid to make conflict or clash with other communities although, in the same time, they are easily to be hurted their feeling. They also insist the concept of polity and being civilized on their behavior since they were children. Those rooted concept emerge as “ natural character” in form of controlled emotion. What is more, they try not to make their behavior rough toward other people. I am not saying, however, that other societies are not likely have the same attitude as Javanese have. It is just one phenomenon of Grass root personal behavior in one community.

Alfian, quoted by Masykury Abdillah, potrays an important value in some communities in  Indonesian rural areas including javanese rural society. Indonesian communities mostly develop an openness and freedom value. According to him, these values can be seen in rural communities’ meeting where each person can express their feelings and ideas freely and openly. The process of making decision passes through an openess, natural and dialog system. This concept is well-known as, recently, “consultation and making decision” (Musyawarah-Mufakat). [9] This condition runs well is due to the homogenious condition of the people in terms of family relationship where the people commonly are relatives. It seems to me that it reflects the democracy system in J. J. Rosseau’ s perspective with his concept of direct system of democracy. Nonetheless, what I emphasize ,here, is not the system but the basic values of grass root society which can support democracy in Indonesia.

Furthermore, ordinary people in this level of social structure are likely to choose the the peacefull life compare to chaotic condition in whatever political condition they are. They will raise an issue of conflict if the government “ creates” the causes. A good example is ethnic conflict between Madurese and dayak community in Kalimantan island. This booming chaos is still in question to what real cause it emerges since the two different community had lived together for years. Some people argue that the government “ creates” the conflict for political interest of some elites politics. On the other hand, some others suspect that it was communal conflict. The main point is that the long period of Madurese and Dayak community story proves a harmony of neighborhood untill the “black manufactured period” came. Still, I assume that the original culture of some communities and ethnic group in Indonesia affiliates to the value of democracy that is recognizing other people’ liberty reflected by tolerance value.

 

Conclusion

From the discussion of the feature of Islam Indonesia and grass root phenomena, we can go to the brief conclusion on Hefner’s work of “Civil Islam”. To restate his main thesis about democratization in Indonesia, he pointed out that democracy can emerge in Indonesia since it already had civic precedence regarding its civil society and civic culture power. Furthermore, to him, what lacks of Indonesia to implement democracy is civil state. Therefore, Hefner’s thesis is in line with my argument on this issue. Nevertheless, I also criticizes that Hefner ignore the reality of grass root phenomena and Islam Indonesia. In these two Issues, he did not discuss further and give a gap that I can discuss to support his thesis. In conclusion, democracy in Indonesia has a great chance to grow although it is a Moslem majority nation that people in doubt with it. With the power of civic culture and civil Islam supporting by civil state, democratization is possible for Indonesia although we cannot deny the fact of conflict throughout the process.

 

 

 

 


[1] Robert W. Hefner, Civil Islam, Muslim and democratization in Indonesia, 2000,Princeton University, United Kingdom,p. 6

[2] ibid

[3] ibid

[4] Abdillah, Masykury, demokrasi di Pesimpangan  Makna ,(trans. Edition), 1999, Pt. Tiara Wacana, Yogyakarta.

[5] Najib, Ala’I, “Islam Indonesia dalam Sorotan Dunia”Perta Journal, vol.VI/no. 02/2003

[6] Extracted from radio interview between Sayyid Husein Al-Habsyi and MS3 FM  Jakarta Wednesday, 28th April 2004

[7] Ahmad Syafi’I MA’arif in mAsykury Abdillah, op cit

[8] ibid, p. 198

[9] ibid, p. 199

Read Full Post »

Indonesia dalam beberapa tahun ini dihadapkan pada berbagai rentetan masalah dan konflik sosial. Ironisnya, dalam banyak kasus konflik sosial, perempuan selalu menjadi korban yang paling memprihatinkan, baik dalam bentuk pelecehan, kekerasan maupun pemerkosaan yang pada dasarnya merupakan suatu perwujudan dari kekerasan berbasis gender.

Peristiwa Mei 1998 adalah salah satu contoh nyata lainnya dimana perempuan mengalami berbagai jenis diskriminasi (multiple discrimination) yang berujung pada pelecehan dan kekerasan. Contoh lainnya adalah nasib buruh migrant perempuan terutama sejak krisis moneter 1997 yang melanda bangsa Indonesia, dimana semakin banyak perempuan yang menempati posisi yang termiskinkan (Feminization of poverty) dikantong-kantong kemiskinan yang ada. Akibatnya banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya dengan menjadi buruh migrant yang rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan seperti menimpa pada TKW. Belum lagi perdagangan perempuan yang semakin marak serta kesengsaraan perempuan pengungsi akibat bencana bencana alam seperti badai tsunami pada tanggal 26 Desember 2004

Berbagai hambatan dan ancaman kekerasan, dalam situasi konflik maupun pemulihan konflik, yang sewaktu-waktu bisa terjadi, masih ada kelompok perempuan yang tetap berupaya menggalang solidaritas sebagai perekat bagi para perempuan untuk mewujudkan solidaritas sesama perempuan. Perempuan di Aceh melakukan begitu banyak berperan pada masa konflik seperti menjemput mayat para suami atau laki-laki yang tewas ketika dirumah sakit atau tempat-tempat ditemukan mayat sambil melakukan ritual keagamaan, mendukung secara spiritual maupun materiil disamping harus tetap tinggal ditempat mereka untuk melanjutkan setelah hidup para suami yang pergi meninggalkan desa, meninggal, hilang atau sengaja meninggalkan desa dengan alasan konflik dan keamanan.

Dalam situasi seperti diatas, fungsi perempuan yang semula dikonstruk sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan (jika diperlukan), berubah menjadi kepala keluarga. Bahkan lebih jauh lagi, di beberapa desa para perempuan mengorganisir diri dalam sebuah kelompok untuk berbagi pengalaman dan menggali potensi. Dalam kasus konflik  di Aceh, kelompok perempuan seperti tersebut diatas dinamakan kelompok “Peka”. Perempuan dalam situasi seperti itu sangat perduli dan antusias serta konsisten  untuk berbagi pengalaman  yang selanjutnya mengarah pada penggagasan konsep, persiapan serta pelaksanaan trauma healing yang berbasis komunitas.

Walaupun perempuan sudah melakukan tindakan nyata dalam proses rekonsiliasi maupun saat terjadi konflik, peran mereka sering dinafikan bahkan mereka tidak pernah dilibatkan dalam forum-forum resmi rekonsiliasi yang pernah digagas oleh berbagai pihak. Hal itu tidak lebih hanya disebabkan oleh pandangan bahwa mereka adalah orang desa dan perempuan sehingga kedudukan mereka dalam forum-forum resmi tidak dianggap penting dan layak untuk didengar pendapatnya tentang rekonsiliasi dan perdamaian. Pada kenyataannya upaya pemulihan dan rekonsiliasi sudah dijalankan oleh para perempuan secara baik walaupun masih dalam lingkup dan lingkungan yang lebih kecil walaupun mereka tidak pernah mengucapkan kata – kata “healing” dan “recovery”.

HAM adalah salah satu alat yang diharapkan mampu “membentengi” perempuan dari segala tindak kekerasan, diskriminasi dan berbagai hal yang tidak menguntungkan seperti yang telah dicontohkan diatas bagi perempuan. Akan tetapi, HAM pada tataran operasional juga memiliki permasalahan karena ia dihadapkan pada kepentingan-kepentingan akibat perbedaan perspektif antara Negara-negara Maju dan Negara yang berkembang. Bagi negara-negara maju, HAM harus berlaku secara mutlak dan universal sebab HAM melekat pada manusia karena ia adalah manusia  bukan karena cirinya yang bersifat regional dan kultural yang beranggapan bahwa penerapan HAM harus mempertimbangkan perbedaan budaya, adat istiadat, hukum, kepercayaan agama, pandangan politik dan nilai-nilai kebangsaan suatu bangsa. Sehingga dalam menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan HAM berikut implementasinya harus menyesuaikan dengan kondisi masing-masing Negara.

Perdebatan tentang artikulasi makna dan implementasi HAM di Indonesia masih diwarnai konsensus tumpang tindih lintas budaya dan agama. Sementara di sisi lain struktur budaya dan kesadaran teologis umat ketika dibenturkan dengan pola relasi penanganan HAM antara laki-laki dan perempuan juga memunculkan persoalan yang lebih kompleks berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender yang perlu mendapatkan solusi alternatif secara kontekstual. Dengan kata lain, perempuan masih membutuhkan perjuangan panjang untuk bisa ditempatkan sebagaimana mestinya seperti laki-laki diperlakukan tanpa kekerasan dan penuh penghormatan selayaknya sebagai manusia.

 

 

Read Full Post »

ilmu budaya dasar

BAB II

A.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Menjelaskan  konsep dan pengertian, bentuk atau wujud serta unsur-unsur yang membentuk budaya (kebudayaan)

B. MATERI POKOK

1. Pengertian Budaya (Kebudayaan)

2. Bentuk atau Wujud Budaya (kebudayaa)

3. Unsur-Unsur Budaya (Kebudayaan)

C. URAIAN MATERI

  1. Pengertian / Definisi Budaya (Kebudayaan)

Banyak teori mengenai definisi budaya atau kebudayaan yang diajukan oleh para sarjana ilmu sosial dengan berbagai rumusan serta batasan-batasan konsep tentang kebudayaan itu sendiri. Budaya atau yang disebut dengan kebudayaan secara etimologi dalam konteks  bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansakerta yaitu kata “Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan dalam bahasa Inggris, budaya atau kebudayaan disebut dengan culture (atau yang seringkali diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia). Kata culture sendiri berasal dari bahasa latin “colere” yang berarti mengolah (bertani atau mengolah tanah) atau mengerjakan. Oleh karena itulah, seringkali budaya atau kebudayaan dimaknai sebagai aktifitas manusia yang berhubungan dengan alam sebagai upaya dari suatu perubahan manusia dan lingkungannya. Kebudayaan juga seringkali disebut atau  disamakan dengan peradaban yang memiliki pengertian lebih luas lagi seperti yang pengertian yang diajukan oleh E. B. Taylor (1987) bahwa kebudayaan atau peradaban meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral hukum, adat istiadat dan pembawaan lain yang diperoleh dari anggota masyarakat yang terbentuk dari pemahaman suatu bangsa terhadap semua hal tersebut.

Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjoroningrat             (Soelaeman, 2001) bahwa dalam kerangka ilmu antropologi budaya, pengertian budaya dan kebudayaan adalah sama. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa budaya dan kebudayaan harus didefinisikan secara berbeda karena budaya merupakan kata majemuk dari Buddhi dengan makna budi atau akal. Dengan demikian, budaya merupakan budi yang berupa cipta, rasa maupun karsa.sedang kebudayaan pengertiannya lebih pada bentuk atau hasil dari cipta, rasa dan karsa tersebut (Prasetya, dkk., 1991). Dengan demikian, budaya harus dibedakan pemaknaannya dengan melihat unsur tata bahasa dan arti dasarnya dimana budaya merupakan “agen” yang menghasilkan suatu bentuk atau wujud yang disebut dengan kebudayaan.

Mengenai definisi atau pengertian budaya atau kebudayaan secara terminology, para ahli antropologi mencoba menawarkan konsep seperti yang diteorikan oleh R. Linton (Prasetya dkk, 1991) yang mengatakan bahwa “kebudayaan merupakan bentuk konfigurasi dari perilaku yang dipelajari dan dibentuk dimana unsur-unsur pembentuknya dilegitimasi serta diteruskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam kalimat yang lain, Koentjoroningrat mendefinisikan “kebudayaan” dalam kerangka disiplin ilmu antropologi sebagai keseluruhan dari sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta hasil karya manusia melalui proses kehidupan bermasyarakat dan menjadi bagian dari kehidupan seseorang tersebut. Dalam konsep ini, kebudayaan dapat difahami sebagai tindakan seseorang sebagai suatu bentuk refleksi dari naluri dalam bentuk suatu tindakan.

Definisi lain dikemukakan oleh seorang Antropolog, M. Keesing (1981), yang lebih menekankan pada pemahaman budaya (lebih pada penggunaan kata budaya) sebagai suatu pola sikap dari suatu kelompok masyarakat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat para antropolog lain yang memberikan konsep budaya sebagai suatu system ide yang direfleksikan dalam bentuk prilaku yang disepakati bersama dalam sebuah komunitas yang berakar dari seluruh pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Taylor, 1981 dan Linton 1940).

Dalam hal ini, Keesing lebih lanjut menjelaskan bahwa budaya sebagai sebuah system ide (ideational system) merupakan sebuah system konsep dan aturan serta makna yang difahami serta dipelajari yang kemudian diekspresikan kedalam suatu bentuk perilaku. Dengan demikian, budaya menurut Antropog ini lebih pada apa yang dipelajari oleh seseorang dan bukan pada apa yang seseorang lakukakan dan hasilkan. Dengan kata lain, Keesing menekankan bahwa budaya merupakan suatu proses belajar dan berinteraksi dalam konteks sistem ide yang berlaku dan dapat diterima oleh suatu komunitas. Dalam proses tersebut seseorang belajar untuk memahami apa yang mereka pikirkan, rasakan dan kemudian memutuskan apa yang harus dilakukan dan apa dampaknya dari apa yang sudah dilakukan. System ide tersebutlah yang akan menjadi “pemandu” seseorang dalam proses “belajar” tersebut. Hasil dari proses belajar tersebut yang berwujud suatu bentuk prilaku itulah yang kemudian dikatakan sebagai “budaya” dalam kerangka para ilmuwan antropologi seperti Robert M. Keesing.

Dari beberapa definisi yang sudah dipaparkan diatas, terlepas dari perbedaaan penggunaan serta pemahaman antara budaya dan kebudayaan, ada tiga hal yang dapat disimpulkan berkaitan dengan definisi budaya secara umum, yaitu:

a. Budaya merupakan suatu sistem ide yang membantu seseorang untuk belajar dan melakukan suatu proses untuk menghasilkan perilaku yang dapat diterima dalam suatu komunitas tertentu dan dilakukan secara terus menerus atau turun temurun

b. Budaya memiliki beberapa unsur penting yang mencakup nilai, moral, kepercayaan dan hukum yang dapat dijadikan “legitimasi” bagi perilaku seseorang

c. Budaya merupakan “agen” yang merupakan perwujudan dari rasa, cipta dan karsa dari suatu komunitas yang diterima maupun dilaksanakan secara bersama oleh komunitas tersebut.

 

2. Wujud / Bentuk Budaya (Kebudayaan)

Menurut Soelaeman (2001, 22) dalam bukunya ” Ilmu Budaya Dasar” mengemukakan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud sebagai berikut:

a.       Sistem budaya yang meliputi gagasan, konsep dan pikiran manusia. Wujud system budaya ini bersifat abstrak dan pusatnya terdapat pada pikiran-pikiran manusia yang terlibat dalam system gagasan tersebut. Sistem ide muncul dari ide dan gagasan dari sekumpulan manusia yang hidup bersama. Seluruh gagasan dan pikiran tersebut tidak berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain. Akan tetapi kesemua itu saling berkaitan dan bersifat stabil dan terus menerus karena dilandasi oleh asas-asas saling berhubungan erat dan bisa diterima oleh orang-orang yang terlibat didalamnya. Hal ini ditegaskan oleh Koentjoroningrat (1959) sebagai suatu system yang disebut dengan adat istiadat dalam konteks Indonesia yang mencakup  system nilai budaya, system norma dan seluruh norma (termasuk  norma agama) menurut pranata-pranata yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu.

 

Wujud kebudayaan pertama ini berfungsi sebagai suatu system budaya dimana seorang individu sebagai bagian dari suatu masyarakat mampu mempelajari berbagai perilaku, pikiran dan tindakan yang sesuai dengan norma-norma (yang terdapat dalam adapt istiadat) yang berlaku melalui proses pembelajaran yang bersifat pembudayaan atau yang disebut dengan institutionalization. Proses pembudayaan ini dapat dimulai dari lingkungan terdekat seperti keluarga dimana seorang individu dapat melihat dan meniru secara langsung dari sistem sosial yang berlaku dalam keluarga melalui proses interaksi. Selanjutnya, proses tersebut dilakukan dengan lingkungan diluar rumah seperti lingkungan sekitarnya. Melalui proses ini, motivasi individu untuk meniru, memantapkan serta menginternalisasi semua norma yang berlaku kedalam pribadi dan perilaku  menjadi suatu yang dibudayakan.

Sebagai suatu sistem ide yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, sistem ini tidak memiliki batas akhir berlakunya suatu kebudayaan karena ia akan terus berkembang dan disempurnakan seiring dengan perkembangan nilai (kebaikan, kebenaran maupun keindahan ) yang berlaku dan terus berkembang dari masa ke masa. Inilah yang disebut dengan kebudayaan subjektif. Sedangkan, penunjang lain dari proses perkembangan suatu budaya adalah nilai yang stabil yang diperoleh dari interaksi dan dialog baik oleh manusia dengan alam maupun lintas kebudayaan sehingga menjadi suatu yang bersifat “kebenaran” yang sudah diujicobakan dan diproyeksikan oleh manusia dan berlaku dalam suatu kelompok masyarakat.

b.      Sistem sosial yang meliputi berbagai aktifitas manusia yang saling berinteraksi. Wujud kebudayaan yang satu ini berkaitan erat dengan sistem budaya dan bersifat konkret dimana seluruh aktifitas manusia dapat diamanati dan dicermati. Selain itu, pola dan bentuk dari aktifitas dalam sebuah sistem sosial ini dibentuk dari gagasan dan pikiran serta konsep dari manusia yang merupakan bagian dari wujud budaya yang pertama (sistem budaya). Hal inilah yang menyebabkan sistem sosial terikat erat dengan sistem budaya dimana manusia-manusia dalam sebuah sistem sosial saling berinteraksi (mengemukakan pikiran, gagasan dan konsep) dan mencapai kesepakatan bersama dalam hal penerimaan maupun penolakan dari gagasan yang terefleksikan dalam aktifitas sehingga bisa menjadi bagian dan mendapat tempat dalam suatu sistem budaya.

Sistem sosial ini dapat berfungsi sebagai alat analisis realitas sosial yang bisa menggambarkan kelompok-kelompok manusia dan organisasi-organisasi sosial yang ada yang melibatkan pola-pola perilaku baik perilaku yang bersifat relatif statis dan tidak mudah berubah serta perilaku yang bersifat statis dan tidak berubah. Pola relasi yang dianalisa tidak hanya bersifat individu maupun perseorangan tapi relasi individu dengan kelompok seperti individu dengan individu lain dalam sebuah keluarga, organisasi serta masyarakat luas. Soelaeman (1991:28) menambahkan bahwa suatu sistem sosial memiliki 10 unsur utama yang membentuk sistem sosial tersebut serta dapat digunakan sebagai alat analisa pola relasi serta proses “institusionalisasi” dalam suatu sistem sosial dalam skala makro (sistem sosial yang lebih besar). Adapun unsur-unsur tersebut antara lain meliputi:

a.       Keyakinan (belief) yang berasal dari pengetahuan

b.      Perasaan

c.       Tujuan yang ingin dicapai

d.      Norma yang berlaku

e.       Status atau peran

f.       Posisi

g.      Kekuasaan (pengaruh)

h.      Sangsi

i.        Fasilitas yang dapat menunjang terbentuknya suatu sistem sosial

j.         Tekanan dan tegangan yang dapat membantu proses terlaksananya proses “institusionalisasi”

Sistem sosial tersebut dapat berfungsi apabila persyaratan berikut ini terpenuhi (Parson dalam Soelaeman, 1991):

a.       Adanya adaptasi yang mengaharuskan semua yang terlibat dalam sistem sosial tersebut untuk beradapatasi dengan lingkungan dimana sistem sosial tersebut berlaku.

b.      Adanya tujuan bersama yang disepakati yang ingin dicapai oleh semua yang terlibat dalam sistem sosial tersebut.

c.       Adanya integrasi dalam bentuk relasi antar anggota yang terlibat suatu sistem sosial yang berlaku

d.      Adanya upaya pembentukan pola-pola baru yang memungkinkan masuknya sistem sosial lain yang diakibatkan oleh kejenuhan terhadap sistem sosial yang sedang berlaku

c.       Kebudayaan dalam wujud benda. Dari interaksi dan aktifitas yang dilakukan oleh manusia dalam suatu sistem sosial sangat memungkinkan adanya penggunaan alat-alat tertentu sebagai media atau sarana untuk mewujudkan tujuan manusia dan sebagai alat untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret (fisik) yang meliputi berbagai bentuk  benda, baik benda diam maupun benda yang bergerak.

Koentjoroningrat membagi wujud kebudayaan menjadi empat lapisan kebudayaan (baik yang bersifat  abstrak maupun konkrit) yang digambarkan  sebagai 4 lingkaran konsentris sebagai berikut:

1.      Lapisan pertama yang disebut dengan kebudayaan fisik. Bentuk kebudayaan pada lapisan pertama ini bersifat konkret dan bisa dilihat atau diraba misalnya candi, patung, pakaian, pesawat atau benda-benda lain yang dapat bergerak. Seperti gambar berikut ini:

Gambar 1                                                        Gambar 2

 

Gambar 3

 

2.      Lapisan kedua atau yang disebut dengan sistem sosial. Wujud kedua dari kebudayaan ini juga bersifat konkrit dan dapat dilihat karena ia merupakan tingkah laku dari manusia dalam suatu komunitas sosial. Oleh karena itu, semua tingkah laku tersebut harus didasari oleh sebuah sistem yang berlaku. Kesemua tingkah laku tersebut dipraktekkan oleh manusia dari waktu kewaktu dan menjadi sebuah pola tingkah laku.

 

Gambar 4

 

3.      Lapisan ketiga dari kebudayaan disebut juga dengan sistem budaya dan bersifat abstrak. Wujud kebudayaan ini disebut juga dengan sistem budaya. Menurut Koentojoningrat, wujud kebudayaan lapisan ketiga hanya bisa difahami dan dimengerti oleh seseorang dari kebudayaan lain melalui proses interaksi dan komunikasi secara mendalam dan intens baik melalui wawancara maupun membaca dari sumber-sumber atau literatur tertentu.

4.      Lapisan terakhir dan menjadi lapisan paling penting dari kesemua lapisan kebudayaan diatas ini merupakan unsur penentu dari sifat dan corak pikiran serta tingkah laku seseorang dari suatu kebudyaan tertentu. Lapisan ini juga disebut sebagai agen dari hasil karya cipta manusia. Akan tetapi, kebudayaan dalam bentuk gagasan ini sulit untuk dirubah karena sudah dipelajari dan terinstitusionalisais dalam diri seseorang sejak kecil dan sudah menjadi bagian dalam gagasan dan tingkah lakunya.

Gambar 5

 

Gambar 6

3. Unsur-Unsur Kebudayaan

Adapun unsur kebudayaan yang

bersifat universal yang dikemukakan oleh para ahli antara lain sebagai berikut:

  1. Peralatan dan perlengkapan hidup teknologi yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari termasuk teknologi seperti pakaian, perumahan, alat rumah tangga, senjata dan sebagainya. Unsur kebudayaan ini disebut dengan unsur kebudayaan fisik yang juga dipengaruhi oleh kemampuan manusia untuk mengorganisir suatu kelompok masyarakat dan cara manusia dalam mengekspresikan rasa keindahan baik dalam wujud benda konkrit.
  2. Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi baik sistem tradisional maupun modern, misalnya : pertanian, peternakan, sistem reproduksi.
  3. Sistem kemasyarakatan, misalnya :  kekerabatan, sistem perkawinan, sistem warisan. Dalam pembahasan unsur kebudayaan, sistem kemasyarakatan menjadi bagian penting yang akan membantu menjelaskan sistem kekerabatan suatu masyarakat dalam sebuah struktur sosial dimana proses relasi skala mikro berlangsung yang melibatkan proses “institusionalisasi”.
  4. Bahasa sebagai media komunikasi, baik maupun tertulis.
  5. Ilmu pengetahuan
  6. Kesenian, misalnya seni suara, seni suara, seni rupa, seni gerak.
  7. Sistem religi.

Semua unsur –unsur kebudayaan tersebut tidak berdiri sendiri akan tetapi saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Hal ini memungkinkan adanya perubahan pada satu unsur jika terdapat perubahan pada unsur yang lain seperti contoh yang dikemukakan oleh Prasetya, dkk (1991) perubahan yang terjadi pada budaya sesaji kepada Dewi Sri pada masyarakat desa dan Petani, budaya bersih desa dan slametan dikarenakan adanya arus modernisasi dalam bidang pertanian dimana sebagian dari peralatan tradisional bertani seperti bajak dan sapi digantikan dengan mesin. Seperti yang dicontohkan gambar berikut ini:

Dengan adanya peralatan modern tersebut juga berdampak pada tradisi-tradisi yang sudah dilakukan masyarakat sejak dahulu sebagaimana sudah dijelaskan diatas.

IV. Cara Pandang Manusia Terhadap Kebudayaan

D. RANGKUMAN

Dari paparan diatas, maka kita dapat mennyimpulkan bahwa untuk memahami budaya atau yang sering disebut dengan kebudayaan (terlepas dari perbedaan pendapat tentang penggunaan kata “budaya” atau “kebudayaan”) seseorang perlu terlebih dahulu untuk memahami definisi dari budaya atau kebudayaan itu sendiri. Ada beberapa pengertian dari kebudayaan yang sudah dikemukakan para ahli dari displin ilmu berbeda yang pada dasarnya merujuk pada kesimpulan bahwa kebudayaan tidak hanya terbatas pada hasil karya cipta manusia yang mengandung nilai estetika atau seni akan tetapi lebih pada rangkaian kegiatan manusia dalam komunitas sosial yang melibatkan nilai-nilai yang berlaku dan dapat diterima oleh komunitas tersebut sehingga menjadi panduan perilaku bagi seseorang. Kebudayaan juga disisi lain mempengaruhi nilai-nilai yang dimiliki seseorang serta perilakunya. Ia juga meliputi kepercayaan dan norma-norma selain nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat.

Hal lain yang bisa digarisbawahi dari paparan diatas adalah bahwa kebudayaan merupakan suatu yang dimiliki bersama oleh seluruh anggota suatu komunitas masyarakat atau oleh sebagaian besar masyarakat dan merupakan hal yang diterima secara turun temurun serta difahami, diterima dan dipraktekkan oleh tiap individu dari anggota masyarakat tersebut melalui proses belajar dan “pelembagaan” (institutionalization). Kebudayaan dalam konteks ini menjadi suatu yang dimiliki dan dipertahankan oleh suatu kelompok dan menjadi sistem pengetahuan yang dipertukarkan melalui suatu proses komunikasi dengan kelompok lain, biasanya dari generasi tua (yang terdahulu mempraktekkan) dengan generasi muda.

Kebudayaan juga terdiri dari unsur-unsur pembentuk yang salaing berkaitan satu sama lain. Ini berarti bahwa adanya perubahan pada salah satu unsur akan mempengaruhi unsur yang lain sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Selain itu, hal yang juga perlu diperhatikan adalah bentuk atau wujud kebudayaan bisa bersifat abstrak (misalnya gagasan atau ide) maupun konkret (misalnya bangunan candi dan seni suara)

Dengan demikian, sebagaimana para ahli mendiskusikan pemahaman kebudayaan serta aspek-aspek yang melingkupinya, maka kebudayaan dapat secara ringkas dijelaskan sebagai suatu keseluruhan sistem, nilai, norma, gagasan dari seseorang dalam suatu kelompok masyarakat yang menunjukkan bahwa ia adalah bagian atau anggota dari kelompok masyarakat tersebut. Dan kebudayaan menjadi milik bersama dari semua anggota kelompok masyarakat tersebut.

E. LATIHAN/ TUGAS

  • Tulislah satu makalah (2-3) halaman mengenai perubahan pada satu unsur budaya yang mempengaruhi unsur budaya yang lain
  • Tulislah satu makalah kritis tentang pemahaman dasar dari kebudayaan. Adakah yang perlu direvisi pada konsep budaya atau kebudayaan. Jelaskan dan beri alasan
  • Carilah dan tulislah salah satu contoh dari wujud atau bentuk kebudayaan di daerah masing-masing

Read Full Post »